Selasa, 17 Desember 2013

TINGKAT KECEMASAN DAN BEBAN KELUARGA PADA PENDERITA DIABETES MELITUS dan KARAKTERISTIK PASIEN DAN KUALITAS HIDUP PASIEN GAGAL GINJAL KRONIK YANG MENJALANI TERAPI HEMODIALISA


posting 1

Abstrak
Tingkat kecemasan keluarga klien dipengaruhi oleh koping dan tingkat pengetahuan, informasi dan keyakinan. Lingkungan penuh ancaman dan tuntutan ekonomi akan perawatan anggota keluarga yang menderita diabetes melitus dengan komplikasi kronik, dalam waktu yang tidak singkat dalam perawatannya yang menimbulkan beban keluarga. Keluarga merasa terbebani pada pasien yang menderita diabetes melitus, karena diabetes melitus merupakan penyebab kesakitan dan mematikan , sehingga keluarga merasa stres dan cemas akan masa depan keluarganya, dengan terjadi nya komplikasi akut dan kronik, juga mempengaruhi beban ekonomi dalam pengobatan dan perawatannya dalam waktu tidak singkat .
Kata Kunci: Tingkat kecemasan, beban keluarga
1. Pendahuluan
Dalam dunia kesehatan penyakit diabetes melitus termasuk penyakit yang tidak menular, namun merupakan salah satu penyakit degeneratif yang bersifat kronis. Diabetes Melitus merupakan ganguan kesehatan dan kumpulan gejala yang disebabkan oleh peningkatan kadar gula darah akibat kekurangan ataupun resistensi insulin, serta adanya komplikasi yang bersifat akut dan kronik (Bustan, 2007). Peningkatan jumlah penderita diabetes sebagian besar dipengaruhi oleh gaya hidup masyarakat. Diabetes juga memberikan pengaruh beban ekonomi yang besar untuk pengobatannya (Tandra, 2007).
Menurut organisasi kesehatan dunia (WHO) pada tahun 2010 menunjukan jumlah penderita diabetes melitus di dunia sekitar 171 juta dan diprediksikan akan meningkat dua kali,
366 juta jiwa tahun 2030. Di Asia Tenggara terdapat 46 juta pada tahun 2000 diperkirakan meningkat menjadi hingga 119 juta jiwa. Di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2008 diperkirakan menjadi 21,3 juta pada tahun 2030. Indonesia merupakan urutan kelima di dunia sebagai negara dengan jumlah penderita diabetes melitus terbanyak setelah Bangladesh, Bhutan, Cina, India (Bustan, 2007). Pada tiga daerah di Indonesia memiliki tingkat prevalensi diabetes melitus diatas 1,5% akibat dari gaya hidup dan pola makan yaitu Sumatra utara, Jawa Timur dan Sulawesi Utara ( Riskesdas, 2010).
Kecemasan merupakan suatu perasaan yang sifatnya umum, dimana seorang yang mengalami cemas, merasa ketakutan atau kehilangan kepercayaan diri dan merasa lemah sehingga tidak
mampu untuk bersikap dan bertindak secara rasional (Wiramihardja, 2007).
Tingkat kecemasan mempunyai karakteristik atau manifestasi yang berbeda satu sama lain, manifestasi yang terjadi tergantung pada kematangan pribadi, pemahaman dalam menghadapi ketegangan, harga diri dan mekanisme yang digunakannya (Asmadi, 2008).
Tingkat kecemasan keluarga klien dipengaruhi oleh koping dan tingkat pengetahuan, informasi dan keyakinan (Setyowati, 2008). Lingkungan penuh ancaman dan tuntutan ekonomi akan perawatan anggota keluarga yang menderita diabetes melitus dengan komplikasi kronik, dalam waktu yang tidak singkat dalam perawatannya, maka situasi tersebut menimbulkan beban keluarga. (Sukarmin & Riyadi, 2008)
Keluarga merasa terbebani pada pasien yang menderita diabetes melitus, karena diabetes melitus merupakan penyebab kesakitan dan mematikan , sehingga keluarga merasa stres dan cemas akan masa depan keluarganya, dengan terjadi nya komplikasi akut dan kronik, juga mempengaruhi beban ekonomi dalam pengobatan dan perawatannya dalam waktu tidak singkat (Fontane, 2009).
Kecemasan adalah perasaan was-was, kuatir atau tidak nyaman, dan tidak menyenangkan, yang di ikuti oleh reaksi fisiologis seperti perubahan detak jantung dan pernapasan (Marlindawani dkk, 2008).
2. Tingkat kecemasan
Suliswati (2009) menggolongkan kecemasan dalam empat tingkat, yaitu :
a. Kecemasan ringan, pada kecemasan ringan ini ketegangan yang dialami sehari-hari dan menyebabkan pasien menjadi waspada dan lapangan persepsi
meningkat. Pada tingkat kecemasan ringan ini dapat motivasi dan menghasilkan kreativitas. Manifestasi fisiologisnya berupa yaitu sesekali nafas pendek, berdebar-debar, nadi dan tekanan darah naik, gejala ringan pada lambung dan muka berkerut serta tangan gemetar. Manifestasi kognitifnya berupa, mampu menerima rangsangan yang kompleks, konsentrasi pada masalah dan menyelesaikan masalah secara efektif. Sedangkan manifestasi perilaku dan emosi yang muncul adalah tidak dapat duduk tenang, gerakan halus pada tangan, suara kadang meninggi dan menggunakan mekanisme koping yang minimal.
b. Kecemasan sedang, Gejala fisik yang timbul pada kecemasan sedang berupa sering nafas pendek, nadi dan tekanan darah meningkat, mulut kering, anoreksia, diare, konstipasi, dan gejala psikologis yang timbul seperti persepsi memnyempit, tidak mampu menerima rangsanagan, berfokus pada apa yang menjadi perhatiannya, gerakan tersentak, meremasi tangan, bicara banyak dan cepat, insomnia, perasaan tak aman dan gelisah (Pieter , 2010).
c. Kecemasan berat yang timbul berupa nafas pendek, tekanan darah dan nadi naik, berkeringat, sakit kepala, penglihatan kabur, dan ketegangan, sedangan gejala psikologis yang timbul lapangan persepsi sangat sempit, tidak mampu menyelesaikan masalah, perasaan terancam, verbalisasi cepat. Penyakit diabetes melitus
dipersepsikan sebagai ancaman dalam kehidupan karena kebutuhan untuk bertahan yang tidak terpenuhi. Menurut Pieter (2010). Gejala fisik yang timbul seperti nafas pendek, tekanan darah dan nadi naik, aktivitas motorik meningkat, ketegangan, dan sedangkan gejala psikologis yang timbul lapangan persepsi sangat menyempit, hilangnya rasional, tidak dapat melakukan aktivitas, perasaan tidak enak dan terancam semangkin meningkat, menurunnya hubungan dengan orang lain dan tidak dapat kendalikan diri.
d. Panik pada tahap ini lapangan persepsi sudah terganggu, sehingga individu tidak mampu mengendalikan diri dan tidak dapat melakukan apa-apa walaupun sudah diberi tuntunan. Manifestasi fisiologis yang muncul berupa : nafas pendek, rasa tercekik, palpitasi dan sakit dada, pucat, hipertensi dan kordinasi motorik rendah. Manifestasi kognitif berupa lapangan pandang persepsi menyempit dan tidak berfikir logis. Sedangkan manifestasi perilaku dan emosi yang muncul adalah mengamuk, marah, ketakutan, berteriak, dan kehilangan kendali
Menurut Ali (2009) keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari kepala keluarga dan beberapa orang berkumpul serta tinggal di suatu tempat di bawah satu atap dalam keadaan saling bergantung.
Beban Keluarga adalah tingkat pengalaman distres keluarga sebagai efek dari kondisi anggota keluarga, yang dapat menyebabkan meningkatnya stres emosional dan ekonomi dari keluarga, sebagaimana respon keluarga terhadap komplikasi dan akan perawatan anggota keluarga yang menderita diabetes melitus dengan komplikasi kronik, dalam waktu yang tidak singkat dalam perawatannya (Fontane, 2009).
3. Jenis-jenis beban keluarga
Jenis beban keluarga ada tiga menurut Fontane (2009) :
a. Beban obyektif merupakan beban dan hambatan yang dijumpai dalam kehidupan suatu keluarga yang berhubungan dangan pelaksanaan merawat salah satu anggota keluarga yang menderita. Yang termasuk dalam beban obyektif adalah beban biaya finansial untuk merawat dan pengobatan, tempat tinggal, makan, dan trasportasi.
b. Beban subyektif merupakan beban yang berupa distres emosional yang dialami anggota keluarga yang berkaitan dengan tugas merawat anggota keluarga yang menderita. Yang termasuk kedalam beban obyektif adalah ansietas akan masa depan, sediah, prustasi, merasa bersalah, kesal, dan bosan.
c. Beban iatrogenik merupakan beban yang disebabkan karena tidak berfungsinya sistem pelayanan kesehatan jiwa yang dapat mengakibatkan intervensi dan rehabilitas tidak berjalan sesuai fungsinya, termasuk dalam beban ini, bagaimana sistem rujukan dan program pendidikan kesehatan.
4. Fungsi Dan Tugas Keluarga
Fungsi keluarga menurut Ali (2009). Friedman membagi fungsi keluarga menjadi 5
Fungsi afektif Keluarga mengembangkan gambaran diri yang positif, peran dijalankan dengan baik, dan penuh kasih sayang terhadap angota keluarga.
Fungsi sosialalisasi Proses perkembangan dan perubahan individu menghasilkan interaksi sosial, dan menjalankan perannya di dalam lingkungan sosial, Keluarga merupakan tempat individu melaksanakan sosialisasi dengan anggota keluarga untuk belajar di siplin, norma budaya, perilaku interaksi terhadap keluarga sehingga mampu berperan dalam masyarakat.
Fungsi reproduksi Untuk meneruskan kelangsungan keturunan dan menambah sumber daya manusia
Fungsi ekonomi Fungsi ekonomi adalah melakukan kegiatan ekonomi baik diluar maupun di dalam kehidupan keluarga memenuhi kebutuhan seluruh anggota keluarganya seperti sandang, pangan, dan papan. Mengelola ekonomi keluarga sehingga terjadi keserasian, keselamatan, keseimbangan, antara pemasukan dan pengeluaran keluarga. Sehingga anggota rumah tangganya berjalan serasi, selaras, dan seimbang. Ekonomi keluarga untuk mewujudkan keluarga bahagia dan sejahtera.
Fungsi perawatan keluarga Kemamupan keluraga melakukan asuhan keperawatan atau pemeliharaan kesehatan mempengaruhi status kesehatan keluarga dan individu
Peran adalah seperangkat perilaku interpersonal, sifat dan kegiatan yang berhubungan dengan individu dalam posisi dan satuan tertentu. Setiap anggota keluarga mempunyai peran masing-masing, Ayah sebagai pemimpin keluarga, pencari nafkah, pendidik, pelindung atau pengayom, pemberi rasa aman, dan sebagai anggota masyarakat kelompok sosial. Sedangkan Ibu sebagai pengurus rumah tangga, pengasuh, pendidik anak-anak, pelindung keluarga dan sebagai anggota masyarakat, Sedangkan Anak berperan sebagai pelaku psikososial sesuai dengan perkembangan fisik, mental, sosial, dan spritual (Ali, 2009).
Menurut setyowati (2008). Peran perawatan dalam membantu keluarga dalam menyelesaikan masalah atau melakukan perawatan kesehatan keluarga sebagai berikut
a. Pendidik
Perawat perlu memberikan pendidikan kesehatan kepada keluarga dengan tujuan keluarga dapat melakukan program asuhan keluarga secara mendiri, dan keluarga bertanggung jawab terhadap masalah kesehatannya.
b. Koordinator
Koordinasi diperlukan pada perawatan berkelanjutan agar pelayanan yang komprehensif dapat tercapai dan untuk mengatur program kegiatan terapi.
c. Pelaksana
Perawat bertanggung jawab dalam memberikan perawatan langsung kepada pasien baik dirumah ataupun dirumah sakit. Perawat mendemonstrasikan kepada kleuarga asuhan keperawatan .
d. Pengawas kesehatan
Perawat melakukan home visite atau kunjungan rumah yang teratur untuk melakukan pengkajian tentang kesehatan keluarga.
e. Konsultan
Perawat sebagai nara sumber bagi keluarga dalam mengatasi masalah kesehatan. Dan harus ada bina
hubungan saling percaya (BHSP) antara perawat dengan keluarga.
f. Kolaborasi
Kolaborasi tidak hanya dilakukan dirumah sakit tetapi juga dikeluarga komunitas.
g. Fasilitator
Membantu keluarga dalam menghadapi masalah dan meningkatkan derajat kesehatan yang optimal dengan sistem rujukan dan dana sehat.
Diabetes melitus adalah gangguan hiperglikemia yang disebabkan oleh ketidakadekutan insulin yang dapat menyebabkan ketoasidosis diabetik. Diabetes melitus dapat diklasifikasikan menjadi diabetes melitus tipe 1 (insulin–dependen diabetes mellitus atau IDDM), tipe II (non insulin-dependent diabetes mellitus atau NIDDM) (Tucker, 2008).
Diabetes tipe 1 (IDDM) disebakan oleh gangguan sel beta pangkreas, berhubungan dengan anti bodi Islet Cell Antibodies (ICA), Insulin Autoantibodies (IAA), dan Glutamic Acid Decarboxylase Antibodies (GADA). Dan terjadi destruksi sel Beta, yang ditandai dengan defisiensi insulin absolut (Bustan, 2007). Diabetes Tipe II (NIDDM) merupakan diabetes yang paling sering ditemukan di Indonesia. Penderita tipe ini biasanya ditemukan pada usia di atas 40 tahun disertai berat badan yang berlebih. Selain itu diabetes tipe II ini dipengaruhi oleh faktor genetik, keluarga, obesitas, diet tinggi lemak, serta kurang gerak badan (Utama, 2007). Menurut (tucker, 2008) diabetes melitus Tipe 11 (NIDDM) di sebabkan oleh kerusakan sekresi insulin, resistensi insulin, dan peningkatan produksi glukosa oleh hati.
Diabetes melitus merupakan penyakit yang memiliki komplikasi, jika gula darah tidak terkontrol dengan baik beberapa tahun kemudian akan timbul komplikasi. Komplikasi akibat diabetes yang timbul dapat berupa komplikasi akut dan kronis.
5. Gejala Diabetes melitus
Tanda awal yang dapat diketahui bahwa seseorang menderita DM atau kencing manis yaitu dilihat langsung dari efek peningkatan kadar gula darah, dimana peningkatan kadar gula dalam darah mencapai nilai 160 - 180 mg/dL dan air seni (urine) penderita kencing manis yang mengandung gula (glucose), sehingga urine sering dikerubuti semut (Utama, 2010).
6. Komplikasi Diabetes Melitus
Komplikasi akut merupakan komplikasi yang muncul secara mendadak. Keadaan bisa fatal jika tidak segera ditangani dan kompliksai akut masih menjadi masalah utama karena angka kematiannya masih tinggi
Komplikasi kronik dapat berupa komplikasi makrovaskular seperti penyakit jantung koroner, pembuluh darah otak, dan mikrovaskular adalah retinopati, nefropati, neuropati (Sukarmin dan Riyadi, 2008).
7. Simpulan dan saran
Tingkat kecemasan dan beban keluarga pada pasien diabetes melitus dipengaruhi oleh kurangnya pengetahuan tentang penyakit diabetes melitus, adanya komplikasi dan tidak memiliki cukup biaya untuk pengobatannya. Tingkat kecemasan yang terus meningkat maka dapat mengakibatkan depresi pada keluarga diabetes melitus, sehingga dapat mempengaruhi kondisi keluarga.
Upaya-upaya yang dapat dilakukan adalah melakukan pengelolaan Diabetes Melitus secara tepat, penyuluhan kesehatan masyarakat rumah sakit dan
melakukan perawatan pasien secara holistik.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Zaidin. (2010). Pengantar Keperawatn Keluarga. Jogjakarta : Mitra Cendikia.
Asmadi. (2010). Teknik prosedural keperawatan konsep dan aplikasi kebutuhan dasar klien. Jakarta : Salemba Mediska
Bustan, M.N. (2007). Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Jogjakarta : Rineka Cipta.
Fontaine, K.L.(2009) Mental health
nursing.6th ed. New Jersey: Pearson Prentice Hall
Lumongga, Pieter. (2010). Pengantar Psikologi Dalam keperawatan, Jakarta : kencana
Marlindawani dkk. (2008). Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan Masalah Psikologi dan Gangguan Jiwa. Medan. USU Press
Murwani & Setyowati. (2008). Asuhan Keperawat Keluarga. Jogjakarta : Mitra Cendik
Riskesdas. (2010). Penyakit Diabetes , Diakses tanggal 29 april pukul 20.00 Wib http://indonesia4lifetransferfactor.wordpress.com.
Riyadi, Sukarmin. (2008). Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Gangguan Eksokrin Dan Endokrin Pada Fangkreas. Yogyakarta : Graha Ilmu.
Suliswati, dkk. (2009). Konsep Dasar Keperawatan Kesehatan Jiwa, Jakarta: EGC. .
Utama, Hendra. (2007). Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu, Jakarta : FK UI.
Tandra, H. (2007). Segala Sesuatu yang Harus Anda Ketahui tentang Diabetes. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Tucker & Marin,susan. (2008). Standar Perawatan Pasien, Jakarta : EGC
Wiramiharja, Sutardjo, A. (2007). Pengantar Psikologi Abnormal, Bandung : Refika aditama
WHO. (2010). Diabetes. Diakses tanggal 25 april 2012 pukul 14.15 Wib dari : http://www.who.int/facts/world/en/index5.html.


posting 2



Abstrak
Karakteristik berarti hal yang berbeda tentang seseorang, tempat, atau hal yang menggambarkannya. Setiap individu mempunyai ciri dan sifat atau karakteristik bawaan (heredity) yang berbeda-beda dan karakteristik yang diperoleh dari pengaruh lingkungan; karakteristik bawaan merupakan karakteristik keturunan yang dimiliki sejak lahir, baik yang menyangkut faktor biologis maupun faktor sosial psikologis. Karakteristik seseorang sangat mempengaruhi pola kehidupan seseorang, karakteristik bisa dilihat dari beberapa sudat pandang diantaranya umur, jenis kelamin dan tingkat pendidikan seseorang, disamping itu keseriusan seseorang dalam menjaga kesehatannya sangat mempengaruhi kualitas kehidupannya baik dalam beraktivitas, istirahat, ataupun secara psikologis. Kualitas hidup merupakan keadaan dimana seseorang mendapat kepuasaan dan kenikmatan dalam kehidupan sehari-hari. WHO telah merumuskan empat dimensi kualitas hidup yaitu dimensi fisik, dimensi psikologis, dimensi sosial dan dimensi lingkungan. Keempat dimensi tersebut sudah dapat menggambarkan kualitas kehidupan pasien gagal ginjal kronik dengan terapi hemodialisa yang mempunyai agama, etnis dan budaya yang berbeda.
Kata kunci: karakteristik, kualitas hidup, pasien gagal ginjal kronik
1. Pendahuluan
Gagal ginjal kronik sudah merupakan masalah kesehatan masyarakat diseluruh dunia (Perhimpunan Nefrologi Indonesia, 2004). Laporan The United States Renal Date System (USRDS) pada tahun 2007 menunjukkan adanya peningkatan populasi penderita gagal ginjal kronik di Amerika Serikat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, dimana prevalensi penderita gagal ginjal kronik mencapai 1.569 orang per sejuta penduduk (Warlianawati, 2007). Sedangkan jumlah penderita gagal ginjal di Indonesia saat ini terbilang tinggi, mencapai 300.000 orang tetapi belum semua pasien dapat tertangani oleh para tenaga medis, baru sekitar 25.000 orang pasien yang dapat ditangani, artinya ada 80 persen pasien tak tersentuh pengobatan sama sekali (Susalit, 2012). Pengobatan bagi penderita gagal ginjal kronik tahap akhir, dilakukan dengan pemberian terapi dialisis seperti hemodialisa atau transplantasi ginjal yang bertujuan untuk mempertahankan kualitas hidup pasien ((Brunner & Suddarth, 2002).
Kualitas hidup adalah sejauh mana seseorang menikmati kemungkianan penting dalam hidupnya (University of Toronto, 2004). Kualitas hidup pasien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisa masih merupakan masalah yang menarik perhatian para profesional kesehatan. Pasien bisa bertahan hidup dengan menjalani terapi hemodialisa, namun masih menyisakan sejumlah persoalan penting sebagai dampak dari terapi hemodialisa. Mencapai kualitas hidup perlu perubahan secara fundamental atas cara pandang pasien terhadap penyakit gagal ginjal kronis itu sendiri (Togatorop, 2011).
Berdasarkan hasil penelitian Yuliaw (2009), bahwa responden
memiliki karakteristik individu yang baik hal ini bisa dilihat dari usia responden dimana yang menderita penyakit gagal ginjal paling banyak dari kalangan orang tua yaitu sebanyak 26,9 %, dengan jenis kelamin perempuan sebanyak 67,3 % dan tingkat pendidikan SMA sebanyak 44,2 % dam kualitas hidup pasien gagal ginjal kronik masuk dalam katagori tinggi yaitu 67,3 %. Hasil penelitian Yuliaw (2009) menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara karakteristik individu dengan kualitas hidup dimensi fisik pasien gagal ginjal kronik di Rumah Sakit Dr. Kariadi Semarang. Hal ini menunjukkan semakin tinggi karakteristik seseorang maka akan semakin baik pula kualitas hidupnya.
Karakteristik seseorang sangat mempengaruhi pola kehidupan seseorang, karakteristik bisa dilihat dari beberapa sudat pandang diantaranya umur, jenis kelamin dan tingkat pendidikan seseorang, disamping itu keseriusan seseorang dalam menjaga kesehatannya sangat mempengaruhi kualitas kehidupannya baik dalam beraktivitas, istirahat, ataupun secara psikologis. Dan banyak orang yang beranggapan bahwa orang terkena penyakit gagal ginjal akan mengalami penurunan dalam kehidupannya. Hal ini menunjukkan bahwa karakteristik seseorang sangat mempengaruhi kualitas hidup seseorang terutama yang mengidap penyakit gagal ginjal kronik (Yuliaw, 2009).
2. Konsep Karakteristik
Karakter (watak) adalah keseluruhan atau totalitas kemungkinan-kemungkinan bereaksi secara emosional seseorang yang terbentuk selama hidupnya oleh unsur-unsur dari dalam (dasar, keturunan, dan faktor-faktor endogen) dan unsur-unsur dari luar (pendidikan dan pengalaman, serta faktor-faktor eksogen) (Sunaryo, 2004).
Karakteristik berarti hal yang berbeda tentang seseorang, tempat, atau hal yang menggambarkannya. Sesuatu yang membuatnya unik atau berbeda. Karakteristik dalam individu adalah sarana untuk memberitahu satu terpisah dari yang lain, dengan cara bahwa orang tersebut akan dijelaskan dan diakui. Sebuah fitur karakteristik dari orang yang biasanya satu yang berdiri di antara sifat-sifat yang lain (Sunaryo, 2004).
Notoatmodjo (2010) menyebutkan ciri-ciri individu digolongkan kedalam tiga kelompok yaitu:
1. Ciri-ciri demografi, seperti jenis kelamin dan umur
2. Struktur sosial, seperti tingkat pendidikan, pekerjaan, kesukuan atau ras, dan sebagainya.
3. Manfaat-manfaat kesehatan, seperti keyakinan bahwa pelayanan kesehatan dapat menolong proses penyembuhan penyakit.
3. Karakteristik Pasien
Karakteristik pasien meliputi usia, jenis kelamin, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, agama, suku/budaya, dan ekonomi/penghasilan.
Usia
Usia (umur) adalah lama waktu hidup atau ada (sejak dilahirkan atau diadakan). Usia meningkatkan atau menurunkan kerentanan terhadap penyakit tertentu. Pada umumnya kualitas hidup menurun dengan meningkatnya umur. Penderita gagal ginjal kronik usia muda akan mempunyai kualitas hidup yang lebih baik oleh karena biasnya kondisi fisiknya yang lebih baik dibandingkan yang berusia tua. Penderita yang dalam usia produktif merasa terpacu untuk sembuh mengingat dia masih muda mempunyai harapan hidup yang lebih tinggi, sebagai tulang punggung keluarga, sementara yang tua menyerahkan keputusan pada keluarga atau anak-anaknya. Tidak sedikit dari mereka merasa sudah tua, capek hanya menunggu waktu, akibatnya mereka kurang motivasi dalam menjalani terapi hemodialisa. Usia juga erat kaitannya dengan prognose penyakit dan harapan hidup mereka yang
berusia diatas 55 tahun kecenderungan untuk terjadi berbagai komplikasi yang memperberat fungsi ginjal sangat besar bila dibandingkan dengan yang berusia dibawah 40 tahun (Indonesiannursing, 2008).
Jenis kelamin
Sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, manusia dibedakan menurut jenis kelaminnya yaitu pria dan wanita. Istilah gender berasal dari bahasa inggris yang berarti jenis kelamin. Gender adalah pembagain peran kedudukan, dan tugas antara laki-laki dan perempuan yang ditetapkan oleh masyarakat berdasarkan sifat perempuan dan laki-laki yang dianggap pantas sesuai norma-norma dan adat istiadat, kepercayaan, atau kebiasaan masyarakat.
Secara umum, setiap penyakit dapat menyerang manusia baik laki-laki maupun perempuan, tetapi pada beberapa penyakit terdapat perbedaan frekuensi antara laki-laki dan perempuan. Hal ini antara lain disebabkan perbedaan pekerjaan, kebiasaan hidup, genetika atau kondisi fisiologis (Budiarto & Anggraeni, 2002).
Penelitan Yuliaw (2009) menyatakan, bahwa responden memiliki karakteristik individu yang baik hal ini bisa dilihat dari jenis kelamin, bahwa perempuan lebih banyak menderita penyakit gagal ginjal kronik, sedangkan laki-laki lebih rendah dan responden laki-laki mempunyai kualitas hidup lebih jelek dibandingkan perempuan, semakin lama menjalani terapi hemodialisa akan semakin rendah kualitas hidup penderita.
Status Perkawinan
Perkawinan merupakan salah suatu aktivitas individu. Aktivitas individu umumnya akan terkait pada suatu tujuan yang ingin dicapai oleh individu yang bersangkutan, demikian pula dalam hal perkawinan. Karena perkawinan merupakan suatu aktivitas dari satu pasangan, maka sudah selayaknya mereka pun juga mempunyai tujuan tertentu. Tetapi karena perkawinan itu terdiri dari dua individu, maka adanya kemungkinan bahwa tujuan mereka itu tidak sama. Bila hal tersebut terjadi, maka tujuan itu harus dibulatkan agar terdapat suatu kesatuan dalam tujuan tersebut (Tarigan, 2011).
Pendidikan
Pendidikan merupakan bagian integral dalam pembangunan. Proses pendidikan tak dapat dipisahkan dari proses pembangunan itu sendiri. Pembangunan diarahkan dan bertujuan untuk mengembangkan sumber daya manusia yang berkualitas dan pembangunan sektor ekonomi, yang satu dengan lainnya saling berkaitan dan berlangsung dengan berbarengan (Hamalik, 2008).
Yuliaw (2009) dalam penelitiannya mengatakan bahwa, pada penderita yang memiliki pendidikan lebih tinggi akan mempunyai pengetahuan yang lebih luas juga memungkinkan pasien itu dapat mengontrol dirinya dalam mengatasi masalah yang di hadapi, mempunyai rasa percaya diri yang tinggi, berpengalaman, dan mempunyai perkiraan yang tepat bagaimana mengatasi kejadian, mudah mengerti tentang apa yang dianjurkan oleh petugas kesehatan, serta dapat mengurangi kecemasan sehingga dapat membantu individu tersebut dalam membuat keputusan. Hasil penelitian ini didukung dengan teori dimana pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang penting untuk terbentuknya tindakan, perilaku yang didasari pengetahuan akan lebih langgeng dari pada yang tidak didasari pengetahaun (Notoatmodjo, 2005).
Pekerjaan
Pekerjaan adalah merupakan sesuatu kegiatan atau aktifitas seseorang yang bekerja pada orang lain atau instasi, kantor, perusahaan untuk memperoleh penghasilan yaitu upah atau gaji baik berupa uang maupun barang demi memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari (Lase, 2011).
Penghasilan yang rendah akan berhubungan dengan pemanfaatan
pelayanan kesehatan maupun pencegahan. Seseorang kurang memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada mungkin karena tidak mempunyai cukup uang untuk membeli obat atau membayar tranportasi (Notoatmodjo, 2010).
Budiarto dan Anggraeni (2002) mengatakan berbagai jenis pekerjaan akan berpengaruh pada frekuensi dan distribusi penyakit. Hal ini disebabkan sebagaian hidupnya dihabiskan di tempat pekerjaan dengan berbagai suasana lingkungan yang berbeda.
Agama
Agama adalah suatu simbol yang mengakibatkan pandangan yang amat realistis bagi para pemeluknya. Agama memberikan motivasi yang sangat kuat untuk menempatkan kebenaran di atas segalanya. Agama dan kepercayaan spiritual sangat mempengaruhi pandangan klien tentang kesehatan dan penyakitnya, rasa nyeri dan penderitaan, serta kehidupan dan kematian. Sehat spiritual terjadi saat individu menentukan keseimbangan antara nilai-nilai dalam kehidupannya, tujuan, dan kepercayaan dirinya dengan orang lain. Penelitain menunjukkan hubungan antara jiwa, daya pikir, dan tubuh. Kepercayan dan harapan individu mempunyai pengaruh terhadap kesehatan seseorang (Potter & Perry, 2009).
Suku/Budaya
Budiarto dan Anggraeni (2002) mengatakan, klasifikasi penyakit berdasarkan suku sulit dilakukan baik secara praktis maupun secara konseptual, tetapi karena terdapat perbedaan yang besar dalam frekuensi dan beratnya penyakit di antara suku maka dibuat kalsifikasi walaupun terjadi kontroversial. Pada umumnya penyakit yang berhubungan dengan suku berkaitan dengan faktor genetik atau faktor lingkungan.
Ekonomi/penghasilan
individu yang status sosial ekonominya berkecukupan akan mampu menyediakan segala fasilitas yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebaliknya, individu yang status sosial ekonominya rendah akan mengalami kesulitan di dalam memenuhi kebutuhan hidupnya (Sunaryo, 2004).
4. Kualitas Hidup
Menurut WHO kualitas hidup adalah sebagai persepsi individu sebagai laki-laki ataupun perempuan dalam hidup ditinjau dari konteks budaya dan sistem nilai dimana mereka tinggal, hubungan dengan standar hidup, harapan, kesenangan, dan perhatian mereka. Hal ini terangkum secara kompleks mencakup kesehatan fisik, status psikologis, tingkat kebebasan, hubungan sosial, dan hubungan kepada karakteristik lingkungan mereka (WHOQOL, 2004).
Kualitas hidup adalah kondisi dimana pasien kendati penyakit yang dideritanya dapat tetap merasa nyaman secara fisik, psikologis, sosia maupun spiritual serta secara optimal memanfaatkan hidupnya untuk kebahagian dirinya maupun orang lain.
5. Dimensi Kualitas Hidup
Menurut WHOQoL group (The World Health Organization Quality of Life) pada tahun 2004 menyebutkan bahwa kualitas hidup terdiri dari 4 dimensi. Keempat dimensi WHOQoL group meliputi:
1. Kesehatan fisik
Berhubungan dengan kesakitan dan kegelisahan, ketergantungan pada perawatan medis, energi dan kelelahan, mobilitas, tidur dan istirahat, aktifitas kehidupan sehari-hari, dan kapasitas kerja.
2. Kesehatan psikologis
Berhubungan dengan pengaruh positif dan negatif spiritual, pemikiran pembelajaran, daya ingat dan konsentrasi, gambaran tubuh dan penampilan, serta penghargaan terhadap diri sendiri.
3. Hubungan sosial
Terdiri dari hubungan personal, aktivitas seksual, dan hubungan sosial
4. Lingkungan
Terdiri dari keamanan dan kenyamanan fisik, lingkungan fisik, sumber penghasilan, kesempatan memperoleh informasi, keterampilan baru, partisipasi dan kesempatan untuk rekreasi atau aktifitas pada waktu luang.
6. Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Hidup
Desita (2010) menyakatan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas hidup dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama adalah sosio demografi yaitu jenis kelamin, umur, suku/etnik, pendidikan, pekerjaan, dan status perkawinan. Kedua adalah medik yaitu lama manjalani hemodialisa, stadium penyakit, dan penatalaksanaan medis yang dijalani.
Penelitian Yuliaw (2009) menemukan bahwa karakteristik individu yang terdiri dari pendidikan, pengetahuan, umur, dan jenis kelamin merupakan faktor yang mempengaruhi kualitas hidup pasien gagal ginjal kronik. Sedangkan Yuwono (2000) dalam penelitiannya mengatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas hidup pasien gagal ginjal adalah umur, jenis kelamin, etiologi gagal ginjal, cara terapi pengganti, status nutrisi dan kondisi kormorid.
Kesimpulan Dan Saran
Karakteristik berarti hal yang berbeda seseorang, tempat, atau hal yang menggambarkannya. Karakteristik seseorang sangat mempengaruhi pola kehidupan seseorang, karakteristik bisa dilihat dari beberapa sudat pandang diantaranya umur, jenis kelamin dan tingkat pendidikan, pekerjaan, penghasilan dan suku. Kualitas hidup merupakan keadaan dimana seseorang mendapat kepuasaan dan kenikmatan dalam kehidupan sehari-hari. dimensi kualitas hidup terbagi empat bagian yaitu kesehatan fisik, sosial, spritual, dan lingkungan.
Setelah mengetahui hal ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas hidup pasien gagal ginjal kronik.
Daftar Pustaka
Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.
Budiarto & Anggraeni. 2002. Pengantar Epidemiologi, Edisi 2. Jakarta: EGC.
Desita. 2010. Pengaruh Dukungan Keluarga Terhadap Peningkatan Kualitas Hidup Pasien Gagal Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisa di RSUP HAM Medan.
Hamalik, O. 2008. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta. Bumi Aksara.
Indonesiannursing. 2008. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ketidakpatuhan Perawatan Hemodialisis. Diakses dari http://indonesiannursing.com/?=192 tanggal 30 April 2012.
Lase, W. N. (2011). Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Hidup Pasien Gagal Ginjal Kronis yang Menjalani Hemodialisa di RSUP Haji Adam Malik Medan.
Perhimpunan Nefrologi Indonesia. 2003. Penyakit Ginjal Kronik dan Glomerulopati : Aspek Klinik dan Patologi Ginjal Pengelolaan Hipertensi Saat ini. Jakarta.
Potter & Perry. 2009. Fundamental Keperawatan, Edisi 7. Jakarta: Salemba Medika.
Susalit. 2012. Teknik Baru Pengobatan Gagal Ginjal, Edisi Minggu 22 Januari 2012. Koran Jakarta. Di Buka pada Website: http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/81403. Pada tanggal 30 April 2012.
Sunaryo. 2004. Psikologi untuk Keperawatan. Jakarta: EGC.
The Word Health Organization Quality Of Life (WHOQOL)-BREF. Dibuka pada tanggal 29 April 2012.
Togatorop, L. 2011. Hubungan Perawat Pelaksana dengan Kualitas Hidup Pasien Gagal Ginjal Kronis yang Menjalani Terapi Hemodialisa di RSUP Haji Adam Malik Medan.
Universitas Toronto. 2004. QOL Concept. Dibuka pada website http://www.utoronto.ca/qolconceps. Pada tanggal 29 April 2012.
Warlianawati. 2007. Persepsi Pasien Terhadap Peran Perawat dalam Pemenuhan Kebutuhan Spiritual pada Pasien Penyakit Gagal Ginjal Kronik di Unit Hemodialisa di RS. PKU Muhammadiyah Yogyakarta 2007. Di Buka pada Website: http://www.publikasi.umy.ac.id/index.php/PSIK 2007. Pada tanggal 26 April 2012.
Yuliaw, A. 2009. Hubungan Karakteristik Individu dengan Kualitas Hidup Dimensi Fisik pasien Gagal Ginjal Kronik di RS Dr. Kariadi Semarang. Diakses dari digilib.unimus.ac.id/files/disk1/106/jtpunimus-gdl-annyyuliaw-5289-2-bab2.pdf pada tanggal 29 April 2012.
Yuwono. 2010. Kualitas Hidup Menurut Spitzer pada Penderita Gagal Ginjal Terminal yang Menjalani Hemodialisa di Unit Hemodialisis RSUP Dr. Kariadi Semarang. Diakses dari http://www.unimus.ac.id/index.pdf. pada tanggal 29 April 2012.
Notoatmodjo, S. 2005. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
__________. 2010. Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar