Rabu, 18 Desember 2013

HUBUNGAN PROGRAM PELAYANAN POSYANDU LANSIA TERHADAP TINGKAT KEPUASAN LANSIA DI DAERAH BINAAN PUSKESMAS DARUSSALAM MEDAN dan Pengaruh latihan Kegel Terhadap Frekuensi lnkontinensia Urine Pada Lansia di Panti Wreda Pucang Gading Semarang.

posting 1


ABSTRAK
Program pelayanan posyandu lanjut usia adalah sebuah program yang ditetapkan oleh
pemerintah untuk meningkatkan kesehatan lansia di masyarakat yang dijalankan oleh
puskesmas. Program pelayanan ini harus dinilai sebagai bahan evaluasi. Namun hingga kini
belum ada alat yang dapat digunakan untuk menilai pelayanan tersebut. Yang dapat digunakan
hingga kini adalah dengan menilai tingkat kepuasan para lansia. Tingkat kepuasan akan
meningkat pada lansia yang mendapat pelayanan yang baik. Penelitian ini bertujuan untuk
mengidentifikasi hubungan program pelayanan posyandu lansia terhadap tingkat kepuasan
lansia dengan menggunakan desain deskriptif korelasi. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif
korelasi dengan sampel sebanyak 67 lansia yang berusia di atas 60 tahun, dapat mendengar dan
berkomunikasi dengan bahasa Indonesia dan telah mendapatkan pelayanan posyandu lansia dari
puskesmas Darusalam Medan. Penentuan jumlah sampel dengan mengambil 10% dari populasi
pengunjung yaitu 667 pengunjung selama tahun 2005. Pengumpulan data dilakukan pada 23 Mei
2006 sampai 6 Juni 2006 dengan teknik wawancara yang menggunakan kuesioner meliputi data
demografi, program pelayanan posyandu lansia, dan tingkat kepuasan lansia. Dari penelitian
diperoleh hasil bahwa semua responden (100%) mendapatkan pelayanan sedang dan
mayoritas responden (77,6%) tidak puas, 19,7% merasa puas dan 3% merasa sangat puas.
Program pelayanan posyandu lansia memiliki hubungan dengan nilai kekuatan hubungan agak
rendah di mana r = 0.483 (r = 0.2–0.4 = agak rendah) dan memiliki hubungan yang
bermakana dengan nilai signifikan p pada uji dua arah adalah 0,000 (p<0.025).
Kata kunci: puskesmas, posyandu lansia, tingkat kepuasan
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Proses menua di dalam perjalanan
hidup manusia merupakan suatu hal wajar
yang akan dialami semua orang yang
dikaruniai umur panjang (Nugroho, 2000).
Proses menua adalah suatu proses
menghilangnya secara perlahan-lahan
kemampuan jaringan untuk memperbaiki
diri atau mengganti dan mempertahankan
Penulis adalah
* Mahasiswa Program S-1 Keperawatan PSIK FK USU
** Dosen Keperawatan Komunitas PSIK FK USU
Universitas Sumatera Utara
2 Jurnal Keperawatan Rufaidah Sumatera Utara, Volume 2 Nomor 1, Mei 2006
fungsi normalnya sehingga tidak dapat
bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki
kerusakan yang diderita (Constantinides,
1994 dalam Nugroho, 2000).
Saat ini di seluruh dunia jumlah
orang lanjut usia diperkirakan ada 500 juta
dengan usia rata-rata 60 tahun dan
diperkirakan pada tahun 2025 akan
mencapai 1,2 milyar (Nugroho, 2000).
Sesuai dengan sensus penduduk tahun
1990, sebanyak 55,7% golongan umur
lansia memegang peranan sebagai kepala
keluarga dan lebih dari 60% tidak pernah
mengenyam pendidikan formal di sekolah
yang memadai. Tingkat partisipasi saat aktif
bekerja adalah di bawah 50%, khususnya
pada usia di atas 60 tahun (Nurkusuma,
2001).
Dengan demikian dapat dilihat
dalam beberapa dekade terakhir ini usia
atau angka harapan hidup penduduk
Indonesia telah meningkat karena adanya
peranan pada lansia meski memiliki
pendidikan rendah dan sudah usia lanjut.
Di samping peningkatan angka harapan
hidup, jumlah dan proporsi kelompok
lanjut usia di negara kita pun menunjukkan
kecenderungan meningkat yaitu 5,3 juta
jiwa atau 4,48% pada tahun 1971, 12,7 juta
jiwa atau 6,65% pada tahun 1990 dan akan
meningkat tajam menjadi 28,8 juta jiwa
atau 11,34% pada tahun 2010 nanti. Seiring
dengan bertambah lanjutnya usia, pola dan
gaya hidup lansia juga akan berubah,
seperti misalnya mereka akan menikmati
waktu luang lebih banyak karena aktivitas
sehari-hari yang mungkin menurun sejalan
dengan bertambahnya usia (Hamid, 2001).
Maka untuk menangani masalah
kesehatan lansia, pemerintah mengeluarkan
beberapa kebijakan/program yang diterapkan
oleh puskesmas. Program pelayanan lansia
disebut juga posyandu lansia (Depakes RI,
1991 dalam Effendi, 1998).
Di Medan sendiri, program ini telah
dijalankan di Puskesmas Darussalam. Dari
hasil observasi dan data yang didapat dari
puskesmas tentang program pelayanan
lansia sepanjang tahun 2005, hampir
seluruh program dapat terlaksana kecuali
pemeriksaan Hb. Untuk itu, peneliti ingin
mengetahui sejauh mana pengaruh program
pelayanan posyandu lansia terhadap
peningkatan kesejahteraan lansia yang diukur
dari tingkat kepuasan lansia di daerah binaan
puskesmas Darussalam Medan.
Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana pelaksanaan program
pelayanan posyandu lansia di Puskesmas
Darussalam Medan?
2. Bagaimana tingkat pelayanan program
posyandu lansia di daerah binaan
Puskesmas Darussalam Medan?
3. Bagaimana tingkat kepuasan lansia di
daerah binaan Puskesmas Darussalam
Medan?
4. Bagaimana hubungan program pelayanan
posyandu lansia terhadap tingkat
kepuasan lansia di daerah binaan
Puskesmas Darussalam Medan?
Tujuan Penelitian
1. Mengidentifikasi pelaksanaan program
pelayanan posyandu lansia di Puskesmas
Darussalam Medan.
2. Mengidentifikasi tingkat pelayanan
program posyandu lansia di daerah
binaan Puskesmas Darussalam Medan.
3. Mengidentifikasi tingkat kepuasan
lansia di daerah binaan Puskesmas
Darussalam Medan.
4. Mengidentifikasi hubungan program
pelayanan posyandu lansia terhadap
tingkat kepuasan lansia di daerah
binaan Puskesmas Darussalam Medan.
Manfaat Penelitian
Bagi praktik keperawatan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat
mengembangkan kemampuan perawat
komunitas dalam praktik keperawatan untuk
pencegahan dan promosi kesehatan pada
lansia.
Universitas Sumatera Utara
Jurnal Keperawatan Rufaidah Sumatera Utara, Volume 2 Nomor 1, Mei 2006 3
Bagi penelitian keperawatan
Penelitian ini diharapkan dapat
memberikan pengetahuan yang berharga
bagi peneliti, sehingga dapat menerapkan
pengalaman ilmiah yang diperoleh untuk
penelitian yang akan datang mengenai
keefektifan program puskesmas terhadap
peningkatan kesehatan dan kesejahteraan
masyarakat.
Bagi pendidikan keperawatan
Hasil penelitian ini diharapkan
dapat menjadi informasi yang berguna
untuk meningkatkan kualitas pendidikan
terutama pada bagian keperawatan
komunitas dan gerontik yang berkaitan
dengan puskesmas.
METODOLOGI PENELITIAN
Desain Penelitian
Desain yang digunakan dalam
penelitian ini adalah deskriptif korelasional
yang bertujuan untuk mengidentifikasi
hubungan program pelayanan posyandu
lansia terhadap tingkat kepuasan lansia di
daerah binaan Puskesmas Darussalam
Medan.
Populasi dan Sampel
Populasi pada penelitian adalah para
lansia yang mendapatkan pelayanan
program posyandu lansia di daerah binaan
Puskesmas Darussalam. Penentuan jumlah
sampel dilakukan dengan menggunakan
rumus penentuan sampel menurut Nursalam
(2003) yaitu dengan rumus 10% dari
populasi jika populasi kurang dari 1000.
Dari data jumlah populasi pengunjung
lansia di Puskesmas Darussalam selama
tahun 2005 ditemukan jumlah pengunjung
sebanyak 668 lansia. Maka sampel yang
dibutuhkan adalah 67 lansia.
Pengambilan sampel dilakukan dengan
menggunakan cara convenience sampling
yang dilakukan dengan mengambil
responden yangtersedia pada saat itu dan
telah memenuhi kriteria sampel yang telah
ditentukan terlebih dahulu (Notoatmojo,
1993). Kriteria yang telah ditentukan untuk
subyek penelitian adalah (1) lansia yang
mendapatkan pelayanan posyandu lansia
dari Puskesmas Darussalam, (2) dapat
berinteraksi dengan menggunakan bahasa
Indonesia, (3) berusia di atas 60 tahun, dan
(4) bisa mendengar.
Lokasi dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan pada
tanggal 25 Mei hingga 6 Juni 2006 di
Puskesmas Darussalam Medan. Alasan
peneliti memilih Puskesmas Darussalam
Medan sebagai tempat penelitian karena
merupakan puskesmas yang melaksanakan
program posyandu lansia dengan angka
pengunjung lansia yang cukup tinggi.
Pertimbangan Etik
Peneliti langsung memberikan
lembar persetujuan penelitian pada
responden, agar responsen mengetahui
maksud dan tujuan penelitian. Pada
responden yang bersedia diteliti maka
terlebih dahulu harus menandatangani
lembar persetujuan. Jika responden
menolak untuk diteliti maka peneliti tidak
akan memaksa dan tetap menghormati
haknya. Untuk menjaga kerahasiaan
responden, peneliti tidak akan
mencantumkan nama responden pada
lembar pengumpulan data (kuesioner).
Lembar tersebut hanya diberi nomor kode
tertentu. Kerahasiaan informasi yang
diberikan oleh responden dijamin oleh
peneliti (Nursalam, 2001).
Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam
penelitian ini digunakan dalam bentuk
kuesioner. Kuesioner ini dibagi menjadi 3
bagian, bagian pertama adalah tentang data
demografi. Bagian kedua adalah data
pelayanan posyandu yang diterima klien.
Kuesioner ini merupakan pengembangan
Universitas Sumatera Utara
4 Jurnal Keperawatan Rufaidah Sumatera Utara, Volume 2 Nomor 1, Mei 2006
dari pengukuran kinerja pelayanan dan
program pelayanan posyandu lansia. Bagian
ketiga adalah data tingkat kepuasan lansia
yang merupakan pengembangan dari
faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat
kepuasan jasa pelayanan kesehatan
menurut Muninjaya (2004) yang terdiri dari
7 faktor yaitu pemahaman konsumen,
empati, biaya, pelayanan fisik, jaminan
keamanan, keterampilan dan kecepatan.
Dan juga merupakan modifikasi dari
instrumen penelitian oleh Simatupang
(2005) yang juga memodifikasi dari tinjauan
pustaka A study to determine patient
satisfaction with nursing care (Mc Coll. E,
Thomas. L, Bond. S, 1996). Kuesioner ini
menggunakan skala Likert. Pada skala
Likert setiap pernyataan akan mempunyai
skor (nilai) antara lain Sangat Puas = 4,
Puas = 3, Tidak Puas = 2, dan Sangat
Tidak Puas = 1.
Reliabilitas Instrumen
Peneliti terlebih dahulu melakukan
uji reliabilitas pada instrumen penelitian.
Uji reliabilitas dilakukan kepada 10
responden. Untuk kuesioner data pelayanan
posyandu lansia menggunakan uji KR-20
karena jumlah pertanyaan ganjil dan
bersifat dikotomi di mana nilai r hasil 0.65
lebih besar dari nilai r tabel (0.63), maka
instrument ini dikatakan reliabel. (Arikunto,
2002). Untuk kuesioner tingkat kepuasan
menggunakan formula Cronbach Alpha
karena instrumen ini menggunakan skala
Likert. Kemudian dengan menggunakan
formulasi dalam program SPSS versi 12.0
hasil uji bernilai 0.868 dan dikatakan
reliabel (r > 0.700) (Arikunto, 2002).
Pengumpulan Data
Pada tahap awal peneliti
mengajukan permohonan izin pelaksanaan
penelitian pada institusi pendidikan
(Program Studi Ilmu Keperawatan
Universitas Sumatera Utara), kemudian
permohonan izin yang telah diperoleh
dikirimkan kepada Dinas Kesehatan Kota
Medan. Lalu bersama surat rujukan dari
Dinas Kesehatan Kota Medan surat izin
tersebut dikirimkan ke tempat penelitian
yaitu Puskesmas Darussalam Medan. Setelah
mendapat izin, peneliti melakukan pengumpulan
data penelitian. Peneliti menemukan
responden sesuai dengan kriteria yang telah
dibuat sebelumnya. Setelah mendapatkan
responden, selanjutnya peneliti menjelaskan
pada calon responden tersebut tentang
tujuan, manfaat, dan pengisian kuesioner,
kemudian calon responden yang bersedia
menjadi responden diminta untuk menandatangani
surat persetujuan. Untuk pengisian
kuesioner dilakukan oleh peneliti melalui
teknik wawancara kepada responden selama
10–15 menit. Peneliti mengisi kuesioner
sesuai dengan jawaban responden.
Analisis Data
Setelah data terkumpul, maka analisis
data dilakukan melalui pengolahan data
secara komputerisasi dengan menggunakan
program SPSS versi 12.0 untuk mengkolerasikan
program pelayanan posyandu lansia
terhadap tingkat kepuasan lansia.
Pada pelayanan posyandu lansia,
setiap jawaban “ya” maka akan mendapat
skor 1 dan yang “tidak” mendapat skor 0.
Tipe nilai ini ada 7 pertanyaan. Pada
pertanyaan nomor 5, setiap pelayanan yang
“diterima” bernilai 1 dan yang “tidak
diterima” bernilai 0. Tipe nilai ini ada 11
pertanyaan. Untuk pertanyaan nomor 9,
nilai 1 untuk pilihan “antara 6–10 ” dan
nilai 0 untuk pilihan “antara 1–5”. Jadi
untuk keseluruhan nilai tertinggi 7 + 11 +
1 = 19 dan terendah 0. Pelayanan ini dibagi
3 kategori yaitu baik, sedang, dan buruk.
Kategori program pelayanan posyandu
lansia adalah: 0 –6 = buruk, 7–13 = sedang,
14–19 = baik.
Universitas Sumatera Utara
Jurnal Keperawatan Rufaidah Sumatera Utara, Volume 2 Nomor 1, Mei 2006 5
Sedangkan pada kuesioner tingkat
kepuasan lansia terdiri dari 21 pertanyaan
dengan rentang nilai tertinggi 84 dan
terendah 21. Dengan menggunakan empat
kategori yaitu sangat puas, puas, tidak puas
dan sangat tidak puas. Dengan demikian,
maka kategori tingkat kepuasan lansia
adalah: 21–37 = sangat tidak puas, 38–63 =
tidak puas, 64–70 = puas, dan 71–84 =
sangat puas.
Data demografi disajikan dalam
bentuk tabel distribusi frekuensi dan
persentasi. Hasil analisis data disajikan
dalam bentuk distribusi frekuensi untuk
melihat gambaran program pelayanan
posyandu lansia dan tingkat kepuasan
lansia. Pengaruh program pelayanan
posyandu lansia terhadap tingkat kepuasan
lansia akan dianalisis secara statistik
dengan menggunakan uji korelasi Pearson’s
Product Moment. Hasil dari analisis korelasi
ini adalah nilai koefisien korelasi (r). Nilai r
menginterpretasikan kekuatan hubungan.
Jika nilai r sebesar 0.8–1.0 maka
interpretasinya tinggi, 0.6–0.8 maka nilai
interpretasinya cukup, 0.4–0.6 maka nilai
interpretasinya agak rendah, 0.2–0.4 maka
nilai interpretasinya rendah, dan 0.0–0.2
nilai interpretasinya tidak terkorelasi.
(Arikunto, 2002). Untuk mengetahui hasil
uji hipotesis melalui uji statistik dengan
menggunakan nilai signifikan α (alpha) 0.05.
Kemudian dengan menggunakan uji hipotesis
dua arah sehingga p dibagi menjadi 2 yaitu
0.025. Jika p<0.025 maka Ha diterima (ada
hubungan) (Wahyuni, 2004).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Dalam bab ini diuraikan tentang
hasil penelitian mengenai hubungan
program pelayanan posyandu lansia
terhadap tingkat kepuasan lansia melalui
proses pengumpualan data dari tanggal 23
Mei 2006 sampai 6 Juni 2006 terhadap 67
orang responden di daerah binaan Puskesmas
Darussalam Medan. Penyajian data hasil
penelitian meliputi deskripsi karakteristik
responden, program pelayanan posyandu
lansia dan tingkat kepuasan lansia.
Deskripsi Karakteristik Responden
Tabel 1. Distribusi frekuensi dan persentase
berdasarkan karakteristik responden
di daerah binaan Puskesmas
Darussalam Medan (N=67)
Karakteristik Frekuensi Persentase
(%)
Usia
60-70 tahun 40 59,7
Diatas 70 tahun 27 40,3
Jenis kelamin
Pria 34 50,7
Wanita 33 49,3
Status perkawinan
Belum menikah 0 0
Menikah 47 70,1
Janda/Duda 20 29,9
Agama
Islam 26 38,8
Protestan 39 58,2
Katolik 2 3
Budha 0 0
Hindu 0 0
Pendidikan
SD 25 37,3
SMP 17 25,4
SMA 14 20,9
Akademi/ Sarjana 11 16,4
Suku
Batak 43 64,2
Melayu 1 1,5
Jawa 13 19,4
lain-lain 10 14,9
Universitas Sumatera Utara
6 Jurnal Keperawatan Rufaidah Sumatera Utara, Volume 2 Nomor 1, Mei 2006
Program Pelayanan
Tabel 2. Distribusi frekuansi dan persentase
program pelayanan posyandu
lansia di daerah binaan Puskesmas
Darussalam Medan (N=67)
Program
pelayanan
Frekuensi Persentase (%)
Buruk 0 0
Sedang 67 100
Baik 0 0
Tingkat Kepuasan Lansia
Tabel 3. Distribusi frekuensi dan persentase
tingkat kepuasan lansia di Puskesmas
Darussalam Medan (N=67)
Tingkat kepuasan Frekuensi Persentase (%)
Sangat puas 2 3
Puas 13 19,4
Tidak puas 52 77,6
Sangat tidak puas 0 0
Hubungan Program Pelayanan Posyandu
Lansia terhadap Tingkat Kepuasan Lansia
Tabel 4. Hasil analisis hubungan antara
program pelayanan posyandu
lansia dengan tingkat kepuasan
lansia (N=67)
Variabel 1 Variabel 2 r Nilai p Ket.
Program
pelayanan
Tingkat
kepuasan
0.483 0.000 Hub.signifikan
dengan
nilai
agak
rendah
Pembahasan
Dari data hasil penelitian yang telah
diperoleh, pembahasan dilakukan untuk
menjawab pertanyaan tentang hubungan
program pelayanan posyandu lansia dengan
tingkat kepuasan lansia di daerah binaan
Puskesmas Darussalam Medan.
Program Pelayanan Posyandu Lansia
Dari hasil distribusi frekuensi dan
persentase berdasarkan program pelayanan
posyandu lansia di daerah binaan
Puskesmas Darussalam Medan, didapat
bahwa lansia di daerah binaan Puskesmas
Darussalam Medan yang menjadi responden
sebanyak 67 responden mendapatkan
pelayanan posyandu lansia. Kategori
pelayanan yang didapat oleh lansia-lansia
tersebut adalah pelayanan sedang (100%).
Hal ini menunjukkan bahwa puskesmas
telah menjalankan program posyandu
lansia dengan cukup baik sesuai peraturan
dan ketetapan pemerintah walaupun belum
dapat dikatakan baik karena ada beberapa
program yang belum terlaksanakan.
Latihan atau olahraga adalah salah satu
kegiatan yang belum terlaksana dengan
baik di Puskesmas Darussalam Medan.
Suatu penelitian yang dilakukan Henry dan
Lucy (2006) yaitu menerapkan sistem
keperawatan rumah dan memberikan
latihan fisik pada lansia untuk mengatasi
kesepiannya agar tidak jatuh depresi. Hal
ini memberikan dampak yang positif pada
kesehatan lansia. Apabila latihan fisik pada
lansia dapat dilakukan dengan baik maka
pelayanan juga dapat menjadi lebih baik
dan lebih berkualitas.
Pelayanan perawatan lansia yang
profesional/baik harus sesuai dengan
standar perawatan keperawatan seperti
kualitas, sesuai kebutuhan, etika dan
sebagainya (Ston, Gaite & Eigeti, 1998).
Selain itu untuk menjadi pelayanan yang
baik juga harus memiliki nilai efektif,
produktif, efisien, puas, dan adil (Ratminta
& Winarsi, 2005).
Tingkat Kepuasan Lansia
Bila dilihat dari hasil distribusi
frekuensi dan persentase berdasarkan
tingkat kepuasan lansia, diperoleh data
bahwa sebagian besar responden yaitu
sebanyak 77,6% dari 67 responden merasa
tidak puas terhadap program posyandu
Universitas Sumatera Utara
Jurnal Keperawatan Rufaidah Sumatera Utara, Volume 2 Nomor 1, Mei 2006 7
lansia yang diberikan puskesmas. Hal ini
dapat disebabkan oleh kurangnya program
posyandu lansia yang diterima oleh lansia.
Serta dapat pula disebabkan karena
responden yang ditemukan oleh peneliti
adalah responden yang tidak mengikuti
kelompok lansia yang diselenggarakan
puskesmas, di mana kelompok lansia itu
sendiri masih belum banyak diketahui para
responden. Lansia akan menggunakan
pelayanan jika sesuai dengan kebutuhannya
(Notoadmojo, 1993), namun menurut lansia
pada saat wawancara, lansia tersebut tidak
membutuhkan kelompok lansia karena
merasa terlalu tua, jadi lebih baik di rumah
saja.
Semakin banyak pelayanan yang
diterima oleh lansia maka tingkat kepuasan
juga akan meningkat. Menurut Azwar
(1996) yang dikutip oleh Awinda (2004)
kepuasan berarti keinginan dan kebutuhan
seseorang telah terpenuhi sama sekali.
Kepuasan seorang penerima jasa layanan
dapat tercapai apabila kebutuhan,
keinginan, dan harapan yang dapat
dipenuhi melalui jasa atau produk yang
dikonsumsinya. Dari hasil penelitian yang
ditemukan pelayanan yang diterima para
lansia masih belum optimal, sehingga
tingkat kepuasannya juga tidak terlalu baik.
Hubungan Program Posyandu Lansia terhadap
Tingkat Kepuasan Lansia
Hasil analisis statistik dalam
penelitian ini adalah bahwa program
pelayanan posyandu lansia dengan kategori
baik, sedang dan buruk memiliki hubungan
terhadap tingkat kepuasan lansia dengan
interpretasi agak rendah (r = 0.483). Hasil
hubungan antara kedua variabel adalah
signifikan dengan p = 0.000 (p<0.023 pada
uji dua arah), sehingga dapat disimpulkan
bahwa hipotesis penelitian ini diterima,
artinya terdapat hubungan antara program
pelayanan posyandu lansia dengan tingkat
kepuasan lansia. Hasil ini sesuai dengan
Azwar (1996) yang dikutip oleh Awinda
(2004) yang menyatakan bahwa kepuasan
pasien/klien bersifat subyektif berorientasi
pada individu dan sesuai dengan tingkat
rata-rata kepuasan penduduk. Kepuasan
klien dapat berhubungan dengan berbagai
aspek di antaranya mutu pelayanan yang
diberikan, kecepatan pemberian pelayanan,
prosedur serta sikap yang diberikan oleh
pemberi pelayanan kesehatan itu sendiri.
Pada penelitian yang dilakukan
dengan tujuan pengembangan indeks
kepuasan pasien sebagai indikator persepsi
pasien terhadap mutu pelayanan Rumah
Sakit Islam Jakarta Timur, diperoleh hasil
bahwa indeks kepuasan pasien secara
bersama-sama dengan indikator pelayanan
rumah sakit yang lain mampu memberikan
gambaran tentang tingkat keberhasilan dan
keadaan pelayanan rumah sakit. Mutu
pelayanan yang baik akan memberikan
kepuasan pasien yang pada akhirnya
berdampak pada kunjungan selanjutnya.
Hal ini juga diungkapkan oleh lansia
yang mengikuti senam lansia yang
diselenggarakan oleh puskesmas di Kalimantan
Barat mengatakan “Saya merasa puas
dengan adanya senam lansia di kelompok
lansia ini, karena saya tidak merasa
kesepian lagi” (Ismuningrum, 2005).
Dengan begitu dapat dilihat adanya
hubungan program pelayanan posyandu
lansia dengan tingkat kepuasan lansia di
daerah binaan Puskesmas Darussalam
Medan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil analisis dan
pembahasan dapat diambil kesimpulan dan
saran mengenai hubungan program
pelayanan posyandu lansia dengan tingkat
kepuasan lansia di daerah binaan
Puskesmas Darussalam Medan.
Kesimpulan
Dengan jumlah 67 responden,
ditemukan pada distribusi frekuensi
Universitas Sumatera Utara
8 Jurnal Keperawatan Rufaidah Sumatera Utara, Volume 2 Nomor 1, Mei 2006
karakteristik responden, hasil penelitian
menunjukkan bahwa sebagian besar
responden berada pada usia 60–70 tahun
(59,7%) dan di atas 70 tahun (40,3%)
dengan jenis kelamin pria (50,7%) dan
wanita (49,3%). Mayoritas responden
menikah dan masih memiliki pasangan
(70,1%) sedangkan janda/duda (29,9%).
Persentase agama adalah Islam (38,8%),
Protestan (58,2%), dan Katolik (3%).
Responden kebanyakan memiliki status
pendidikan terakhir SD (37,3%). Sedangkan
berdasarkan suku responden mayoritas
(64,2%) Batak. Keseluruhan responden
mendapat pelayanan dengan kategori
sedang (100%) dengan tingkat kepuasan
responden tidak puas (77.6%), merasa puas
(19,4%), dan sangat puas (3%). Program
pelayanan posyandu lansia memiliki hubungan
signifikan dengan tingkat kepuasan di mana
p<0.025 (pada dua arah), sehingga Ha
dapat diterima. Sedangkan kekuatan
hubungan antara program pelayanan
posyandu lansia dengan tingkat kepuasan
lansia memiliki interpretasi agak rendah
dengan r sebesar 0.483. Berdasarkan tabel
kriteria penafsiran korelasi menurut
Arikunto (2002), bahwa kedua variabel
tersebut memiliki hubungan dengan
interpretasi agak rendah (r pada 0.4–0.6).
Saran
Untuk praktik keperawatan
Dalam praktik keperawatan komunitas
agar dapat mengembangkan kemampuan
untuk pencegahan dan promosi kesehatan
pada lansia. Hal ini dapat berupa berbagai
kreativitas kegiatan dalam pelaksanaan
posyandu lansia misalnya mengadakan
penyuluhan kesehatan, pemberian makanan
bergizi, pengaktifan kelompok lansia
dengan berbagai kegiatan kesehatan dan
berbagi kegiatan lain.
Untuk penelitian keperawatan
Adanya hubungan antara program
pelayanan posyandu lansia dengan tingkat
kepuasaan lansia dapat menjadi masukan
untuk peneliti selanjutnya tentang keefektifan
program puskesmas terhadap peningkatan
kesehatan dan kesejahteraan masyarakat.
Peneliti berikutnya juga perlu
menggunakan jumlah sampel yang lebih
representatif dengan menggunakan teknik
sampling yang lebih tepat agar mendapatkan
keadaan masyarakat lebih jelas lagi.
Hasil penelitian yang memiliki
hubungan agak rendah, dapat menjadi
rekomendasi bagi peneliti selanjutnya untuk
mengetahui faktor yang mempengaruhi
tingkat kepuasan lansia.
Untuk pendidikan keperawatan
Pada pendidikan keperawatan
terutama pada bidang komunitas agar
dapat lebih memperhatikan kebutuhankebutuhan
lansia yang tidak hanya pada
keadaan sakit tapi juga pada keadaan sehat.
Terutama kebutuhan akan mengatasi
kesepiannya yang merupakan masalah utama.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, S. (2002). Prosedur penelitian.
Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Effendi, N. (1998). Dasar-dasar keperawatan
kesehatan masyarakat. Jakarta: EGC.
Hamid, A. Y. (2001). Psikologi perkembangan
pribadi dari bayi sampai lanjut usia.
Jakarta: Universitas Indonesia.
Muninjaya, A. A. (2004). Manajemen
kesehatan, Ed:2. Jakarta: EGC.
Nugroho. (2000). Perawatan gerontik. Jakarta:
EGC.
Nursalam. (2003). Konsep dan penerapan
penelitian ilmu keperawatan. Jakarta:
Medika Salemba.
Simatupang, R. B. (2005). Perbedaan tingkat
kepuasan pasien rawat inap dan rawat
jalan di Rumah Sakit Pirngadi
Medan. PSIK FK USU: tidak
dipublikasikan.
Universitas Sumatera Utara

posting 2



ABSTRAK
Latihan kegel adalah latihan yang digunakan untuk memperkuatt otot dasar
panggul dengan cara mengkontraksikan rectum dan uretra yang ditahan selama 3 - 5 detik
Remudian merelaksasikannya, dan ini diulangi sebanyak l0 kali selama 4 minggu. Kontraksi otat
dasar panggul yang melemah dapat menyebabkan inkontinensia urine, dimana ini merupakan
salah satu masalah yang dialami lansia dan perlu mendapatkan perhatian khusus seiring dengan
meningkatnya populasi lansia di indonesia.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh latihan kegel
terhadap frekuensi inkontinensia urine pada lansia. Penelitian ini menggunakan desain penelitian
}uasi Eksperimental dengan rancangan "Time Series Design" yang dilakukan pada 24 orang
responden, untuk mengetahui pengaruh latihan kegel terhadap frekuensi inkontinensia urine
pada lansia.
Hasil penelitian menunjukkan, bahwa setelah dilakukan latihan kegel terjadi
penurunan frekuensi inkotinensia urine sebesu 21,6 o/o dari 10,043 kali menjadi 7,871 kali. Dari
hasil uji T-dependent test didapatkan nilai p sebesar 0,000 sehingga ada pengaruh latihan kegel
terhadap frekuensi inkontinensia urin pada lansia di PantiWreda Pucang Gading Semarang.
Hasil penelitian tersebut mengindikasikan perlunya latihan kegel secara teratur
dalam waktu yang relatif lama untuk mengetahui pengaruh latihan kegel terhadap penurunan
f rekuensi inkontinensia urin.
Kata kunci : Latihan Kege[ Frekuensi lnkontinensia Urine, Lansia.
FIKkttS o Jurnal Keperawatan
Vol. 2 No. 2 - Maret2009 : 42 -48
lJroses menua (aging proces) biasanya akan ditandai dengan adanya
;.2 perubahan fisik-biologis, mentar ataupun spikososial. perubahan fisik I diantaranya adalah penurunan sel, penurunan system persyarafan, system
pendengaran, system penglihatan, system kardiovaskuler, system pengaturan
temperature tubuh, system respirasi, system endokrin, system kulit, system
musculoskeletal. Perubahan-perubahan mental pada lansia yaitu terjadi perubahan
kepribadian, memori dan perubahan intelegensi. sedangkan perubahan spikososial
dapat berupa kehilangna pekerjaan, kesepian dan kehilangan pasangan (Nugroho,
2000).
Menurut salomon dalam Darmojo (2000), bahwa inkontinensia urine pada lanjut
usia menduduki urutan kelima. Dari penelitian menyebutkan bahwa 15-30 % orang
yang tinggal di masyarakat, dan 50 % orang yang dirawat di tempat pelayanan
kesehatan menderita inkontinensia urine. pada tahun 1ggg, dari semua pasien
geriatri yang dirawat di ruang geriatri penyakit dalam RSUD Dr. cipto Mangun
Kusumo didapatkan angka kejadian inkontinensia urine sebesar 10 % dan pada
tahun 2000 meningkat menjadi 12lo lpranarka, 2001).
Diperkirakan sekitar 13 % penduduk pria dan wanita berusia 75 tahun atau lebih
menderita inkontinensia urine. Hampir 34 % terjadi pada laki-laki dan 60 % terjadi
pada wanita yang berusia 75 tahun pada institusi perawat akut mengalami
inkontinensia urine. lnkontinenia urine sangat menghabiskan biaya, baik
konsekwensi secara pskososial bagi pasien maupun dampak ekonomi yang sangat
besar bagi masyarakat. Biaya perawatan pasien inkontinensia urine diperkirakan
lebih dari 10,3 milyar US$ pertahunnya (AHCpR, 1992).
lnkontinenesia urine sering kali menyebabkan pasien dan keluarganya frustasi,
bahkan depresi. Bau yang tidak sedap dan perasaan kotor, tentu akan menimbukan
masalah social dan psikologis. selain iu inkontinensia urine juga akan mengganggu
akvitas fisik, seksual dehidrasi karena umumnya penderita akan mengurangi
minumnya khawatir terjadi ngompol. Masalah lain yang dapat ditemukan adalah
adanya dekubitus dan infeksi saluran kemih yang berulang, disamping dibutuhkan
biaya perawatan sehari-hari yang relative lebih tinggi untuk keperluan membeli
tampon (Setiati, 2001 ).
Terdapat cara yang digunakan untuk memperbaiki ketidakmampuan berkemih yaitu
dengan latihan otot dasar panggul (pelvic muscte exercise) atau sering disebut
dengan latihan kegel. Latihan ini baru diterapkan pada kondisi gangguan berkemih
pada kasus-kasus pasca persalinan yang difokuskan pada latihan kontraksi dan
relaksasi otot dasar panggul, selain itu kegel juga telah dikenal sebagai senam
yang berhubungan dengan aktivitas seksual (Edu. K, 2001).
PENGARUH LATIHAN KEGEL TERHADAP FREKUENSI INKONTINENSIA
URINE PADA LANSIA OI PANTI WREOA PUCANG GAOING SEMARANG.
Athmad Muslota, Wahyu Wldyaringslh
Hasil studi pendahuluan yang dilakukan peneliti di Panti Wreda Pucang Gading Semarang pada
bulan Februari tahun 2009, diperoleh data bahwa 70 orang dari 115 orang lanjut usia yang tinggal
di PantiWreda Pucang Gading Semarang menderita
inkontinensia urine atau 61 % lansia yang tinggal di Panti Wreda Pucang Gading Semarang
menderita inkontinensia urine. Berdasarkan manfaat-manlaat latihan kegel tersebut, perlu
dilakukan penelitian tentang pengaruh latihan kegel terhadap lrekuensi ikontinensia urine pada
lansia di Panti Wreda Pucang Gading Semarang.
Tujuan Penelitian
Tujuan Umum: Untuk mengetahui pengaruh latihan kegelterhadap frekuensi inkontinensia
urine pada lanjut usia (lansia). Tuiuan Khusus: Mengidentilikasi inkontinensia urine pada lanjut usia
sebelum dan sesudah dilakukan latihan kegel. Menganalisis perbedaan frekuensi inkontinensia
urine sebelum dan sesudah dilakukan latihan kegel.
METODA PENELITIAN
Desain Penelitian: Penelitian ini menggunakan desain penelitian Quasi Eksperimental
dengan rancangan "Time Series Design". Populasi dalam penelitian ini adalah lansia yang
mengalami inkotinensia urine di Panti Wreda Pucang Gading Semarang sebanyakT0 orang.
Pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah dengan cara sampling ienuh yaitu cara
pengambilan sampel dengan mengambil semua anggota populasi menjadi sampel (Hidayat,
2007).
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Karakteristik Responden
Hasil analisis statistik deskriptil lansia berdasarkan umur di Panti Wreda Pucang
Gading Semarang, 2009.
N
Mean
(rata-rata)
Median Modus
Standar
deviasl
Minimal Marimal
Usia
responden
(rh) 24 71,54 72,5 73 5,863 63 83
FIKkiiS o Jurnal Keperawatan
Vol. 2 No, 2 - Maret2009 : 42 -48
Berdasarkan tabel 4.1 di atas dilihat dari segi umur lansia di panU Wreda pucang
Gading Semarang, diperoleh mean (rata-rata) sebesar 71,54 tahun. Median atau nilai tengan
usia responden setelah diurutkan adalah 72,5 tahun dengan standar deviasi atau simpangan
baku sebesar 5,863 dan modus atau nilai yang sering muncul adalah 73 tahun. Umur termuda
responden adalah 63 tahun dan umurtertua responden adalah g3 tahun.
Distribusi lrekuensi lansia berdasarkan lenis kelamin di Panti Wreda pucang Gading
Semarang,2009.
Berdasarkantabeldiatasdilihatdarisegijenisket
Gading Semarang, semua sampel berjenis kelamin perempuan (100yo).
Distribusi lrekuensi lansia berdasarkan tingkal pendidikan di panti wreda pucang
Gading Semarang,2009.
Berdasarkan tabel di atas dilihat dari segi pendidikan lansia di Panti Wreda Pucang Gading
Semarang, sebagian besar responden tidak sekolah yaitu sebesar 19 orang (7g7d dan terkecil
memiliki latar belakang pendidikan SMP dan SMA yaitu 1 orang (4,2o/o), dan yang berpendidikan
SD sebanyak 3 orang (12,50/").
Jenis kelamin Jumlah Persentase (%)
perempuan 24 100%
Jumlah 24 1007o
Pendidikan Jumlah Persentase (%)
Tidak sekolah
SD
SMP
SLTA
19
3
1
1
79,20/o
12,5o/o
4,2%
4,2%
Jumlah 24 100%
PENGARUH LATIHAN KEGEL TERHADAP FBEKUENSI INKONTINENSIA
URINE PADA LANSIA DI PANTIWREDA PUCANG GADING SEMAMNG.
Akhmad Muslola, Wahyu Wdyanlngsih
L2
10
8
5
4
2
0
-}SEBELUM
.I-SESUDAH
hr1 nrl h16
Frekuensi lnkontinensia Urin.
Rerata lrekuensi lnkontinensia Urin Sebelum dan Sesudah Dilakukan Latihan Kegel
di Panti Wreda Pucang Gading Semarang, 2009.
Berdasarkan grafik diatas didapatkan hasil bahwa sebelum dilakukan latihan kegel rerata
Irekuensi inkontinensia urine minimum pada 24 responden adalah 9,5 yaitu jatuh pada hari
pertama. Rerata maximum adalah 10,3 yaitu jatuh pada hari ke-3, hari ke-5 dan hari ke-6.
Setelah dilakukan latihan kegel rerata frekuensi inkontinensia urine minimum pada24 responden
adalah 7,4 yaitu jatuh pada hari ke-S. Rerata maximum adalah 8,5 yaitu jatuh pada hari ke-3.
Pengaruh latihan kegel terhadap lrekuensi inkontinensia urin pada lansia di Panti
Wreda Pucang Gading Semarang, 2009.
Tabel 4.5 Hasil uli T-dependent fesl pengaruh latihan kegel lerhadap lrekuensi
inkontinensia urin pada lansia di PantiWreda Pucang Gading Semarang, 2009.
Berdasarkan tabel 4.5 diatas didapatkan hasil uji T-dependent tesl bahwa rata-rata
Irekuensi inkontinensia urine sesudah diberikan latihan kegel yaitu sebesar 7,871 dibandingkan
dengan sebelum diberikan latihan yaitu sebesar 10,043.
Variabel N Bata-rata Std. Deviasi P-Value Keterangan
Sebelum
Sesudah
7
7
10,043
7,971
0,3259
0,4231
0,000 Signilikan
fIKkiiS o Jurnal Keperawatan
Vol, 2 No. 2 - Maret 2009 i 42 .48
Hasil uji statistik untuk frekuensi inkontinenqia urin sebelum dan sesudah diberikan latihan
kegel didapatkan P-value = 0,000 < [ = 0,05 dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ada
pengaruh yang signifikan antara sebelum dan sesudah dilakukan latihan kegel pada lansia di Panti
Wreda Pucang Gading Semarang.
Pembahasan
Dari hasil penelitian di PantiWreda Pucang Gading Semarang tentang pengaruh
latihan kegel terhadap frekuensi inkontinensia urine pada 24 responden, didapatkan hasil bahwa
ada pengaruh latihan kegel terhadap frekuensi inkontinensia urine pada lansia (p< 0.05).
Pengaruh Latihan Kegel Terhadap Frekuensi lnkontinensia Urine Pada Lansia
Berdasarkan hasil analisis statistik dengan ujit-dependent fest atau paired t-test
didapatkan nilai rata-rata frekuensi inkontinensia urine sesudah diberikan latihan kegel mengalami
penurunan sebesar 21,6% yaitu dari 10,083 kalimenladi7,871 kalidan nilai p-value = 0,000 <
0,05. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh secara signifikan (bermakna)
antara latihan kegel dengan {rekuensi inkontinensia urine.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian sejenis yang dilakukan sebelumnya
oleh Flynn, L tentang keefeKifan latihan otot pelvis dalam mengurangi inkontinensia urgensi atau
gabungan dari inkontinensia urgensi dan inkontinensia stress yang diujicobakan pada 37 orang
lansia yang bertempat tinggal di komunitas dengan rentang usia 58 sampai 92 tahun. Dimana
hasil akhir penelitian adalah latihan-latihan tersebut efektif untuk kedua jenis inkontinensia.
Keterbatasan Penelitian : Jumlah sampel dalam penelitian ini yang relatif kecil untuk penelitian.
Waktu latihan kegel yang relatil singkat.
SIMPULAN DAN SAMN
A. Simpulan
1. Frekuensi inkontinensia urine pada lansia mengalami penurunan setelah dilakukan
latihan kegel sebesar 21,6% yaitu rata-rata sebelum 10,043 kali menjadi 7,871 kali.
2. Ada pengaruh yang signifikan (bermakna) antara latihan kegel dengan lrekuensi
inkontinensia urin pada lansia di Panti Wreda Pucang Gading Semarang (P-value =
0,000<E=0,05).
B. Saran
1. Latihan kegel dapat dilaksanakan oleh lansia, sebagai cara untuk menurunkan atau
mengurangi frekuensi inkontinensia urine yang dilaksanakan sebanyak 2 x sehari
selama ninimal 2 bulan.
2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui berapa lama tingkat keefeKifan
dari pengaruh latihan kegel terhadap frekuensi inkontinensia urine pada lansia.
PENGARUH LATIHAN KEGEL TERHADAP FREKUENSI INKONTINENSIA
URINE PADA LANSIA DI PANTI WREDA PUCANG GAOING SEMARANG.
Alhmad Muslola, Wahyu Widyaningsih
Akhmad Mustofa Dosen FIKKES Universitas Muhammadiyah Semarang
Wahyu Widyaningsih Alumnus Universitas Muhammadiyah Semarang
DAFTAR PUSTAKA
Czeresna H. S., S.,Lukman, H., Asril, B, (2001). ManifestasiPenyakit Dalam Geriatri. Jakarta :
FKUI.
Darmojo. (2000). Geriatri llmu Kesehatan lJsila. (Edisi 2). Jakarta : FKUI,
Edu, K. (2001). Senam Kegel Untuk Kesehatan dan Kepuasan Sex. Retreived January 16, 2009,
lrom http://v.rww,weddingku.com.
Gallo. (2000) . Gerontologi. Jakarta ;EGC,
Guyton, (1995). Fisiologi Manusiia dan Mekanisme Penyakit. Jakarta : EGC.
Hidayat, A. Aziz Alimul. (2007). Riset Keperawatan dan Teknik llmiah (Edisi 2). Jakarta :
Salemba Medika.
Kuntjoro, (2002). Masalah Kesehatan Lansia, Jakarta ; FKUI.
Nugroho, Wahjudi. (2008). Keperawatan Gerontik dan Geriatri (Edisi 3), Jakarta : EGC.
Pranarka. (2001). llmu Penyakit Dalam. Jilid 1. (Edisi 3). Jakarta : FKUI.
Setiati. (2001). Majalah Kedokteran lndonesia. (/olume 5/). Jakarta: EGC.
SmelEer, Suzanne C. (2001). Buku Ajar Keperawatan MedikalBedah. (EdisiS). iakarta:EGC.
Sugiyono. (2007). Statistrka Untuk penelitian. Bandung : Alfabeta.
FIKkiiS o Jurnal Keperawatan
Vol. 2 No, 2 - Maret2009 : 42 -48

Selasa, 17 Desember 2013

Hubungan Diare dengan Status Gizi Balita di Kelurahan Lubuk Buaya Kecamatan Koto Tangah Kota Padang dan Hubungan Depresi dan Sindrom Dispepsia pada Pasien Penderita Keganasan Yang Menjalani




posting 1

Abstrak
Malnutrisi pada anak masih menjadi masalah kesehatan utama di dunia. Data dari WHO pada tahun 2010 menunjukkan sebanyak 18% anak usia di bawah lima tahun di negara berkembang mengalami underweight. Keadaan kurang gizi dapat meningkatkan risiko terkena penyakit infeksi karena daya tahan tubuh yang menurun. Sebaliknya, penyakit infeksi juga dapat memengaruhi status gizi karena asupan makanan menurun, malabsorpsi, dan katabolisme tubuh meningkat. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan apakah terdapat hubungan antara diare dengan status gizi balita. Jenis penelitian ini adalah studi observasional dengan desain cross sectional. Populasi penelitian adalah ibu dan balita usia 12-60 bulan yang bertempat tinggal di Kelurahan Lubuk Buaya. Sampel yang diambil sebanyak 145 orang dengan metode proportionate random sampling. Data dikumpulkan dengan kuesioner untuk mengetahui riwayat diare dalam sebulan terakhir dan penimbangan berat badan. Data diolah dengan uji statistik chi square menggunakan program SPSS 17.0. Hasil analisis univariat menunjukkan terdapat balita berstatus gizi baik (84,1%), status gizi kurang (13,8%), dan status gizi buruk (2,1%). Terdapat 25,5% balita yang pernah mengalami diare dengan rerata durasi diare 3,0 hari. Hasil analisis bivariat menunjukkan tidak terdapat hubungan bermakna antara diare dengan status gizi (BB/U) balita di Kelurahan Lubuk Buaya (p=0,742). Penelitian ini memperlihatkan bahwa tidak terdapat hubungan antara diare dengan status gizi balita di Kelurahan Lubuk Buaya Kecamatan Koto Tangah Kota Padang.
Kata kunci: status gizi balita, diare
Abstract
Malnutrition in children is still a major health problem in the world. Data from WHO in 2010 showed 18% of children under five years old in developing countries are underweight. Malnutrition may increase the risk of infectious disease because the immune system is decreased. Otherwise, infectious disease can also affect the nutritional status because of decreased food intake, malabsorption, and increased body catabolism. This study aimed to determine association between diarrhea and nutritional status of children. The study was an observational study with cross sectional design. The population is mother and children aged 12- 60 months residing in Lubuk Buaya Village. There are 145 samples taken with proportionate random sampling method. Data were collected with questionnaire to determine the history of diarrhea in the last month and weighing. The data were processed with chi square test by using SPSS 17.0 program. Results of univariate analysis showed that there are children with good nutritional status (84,1%), underweight (13,8%), and poor nutritional status (2,1%). There are 25,5% children had diarrhea with average duration of illness 3,0 days. Results of bivariate analysis showed no significant association between diarrhea and nutritional status (weight/age) of children in Lubuk Buaya Village (p = 0,742). This study showed no association between diarrhea and nutritional status of children in Lubuk Buaya Village, Koto Tangah Subdistrict, Padang City.
Keywords: nutritional status of children, diarrhea
Affiliasi penulis : Alania Rosari,
Korespondensi : Fakultas Kedokteran Universitas Andalas, email : alania_dcoins@yahoo.com, Telp: 085263764558
PENDAHULUAN
Gizi merupakan salah satu indikator untuk menilai keberhasilan pembangunan kesehatan sebuah negara dalam membangun sumber daya manusia yang berkualitas.1 Permasalahan gizi yang masih menjadi masalah utama di dunia adalah malnutrisi. Malnutrisi dapat meningkatkan kerentanan anak terhadap penyakit dan mempengaruhi tumbuh kembangnya.2
Pada tahun 2010, sebanyak 103 juta anak berusia di bawah lima tahun di negara berkembang mengalami underweight atau berat badan terlalu rendah.3 Prevalensi balita yang mengalami masalah gizi berdasarkan berat badan per umur (BB/U) di Indonesia pada tahun 2010 meliputi kasus gizi kurang 13,0% dan gizi buruk 4,9%. Prevalensi di Sumatera Barat menunjukkan kasus gizi kurang 14,4% dan gizi buruk 2,8%.4 Data tersebut memperlihatkan bahwa jumlah balita dengan status gizi kurang di Sumatera Barat masih tinggi di atas persentase rata-rata Indonesia. Berdasarkan hasil pemantauan status gizi Dinas Kesehatan Kota Padang pada tahun 2011, didapatkan prevalensi balita gizi kurang dengan indikator BB/U sebesar 10,6% dan balita gizi buruk 1,7%.5
Status gizi anak dipengaruhi oleh banyak faktor. Tiga faktor utama yang mempengaruhi status gizi anak yaitu aspek konsumsi, kesehatan anak, dan pengasuhan psikososial.6
Diare adalah suatu keadaan yang ditandai dengan bertambahnya frekuensi defekasi lebih dari tiga kali sehari yang disertai dengan perubahan konsistensi tinja menjadi lebih cair, dengan/tanpa darah dan dengan/tanpa lendir.7 Diare menjadi penyebab kematian terbanyak nomor dua pada anak berusia di bawah lima tahun dengan 1,5 juta anak meninggal tiap tahunnya. Diare juga merupakan penyebab utama kejadian malnutrisi pada anak berusia di bawah lima tahun.8
Prevalensi diare pada kelompok umur 1 - 4 tahun di Indonesia sebanyak 16,7% dan merupakan prevalensi terbanyak dibandingkan kelompok umur lainnya. Data yang dilaporkan dalam Riskesdas 2007 menunjukkan diare sudah menjadi penyebab kematian terbanyak pada balita di Indonesia dengan persentase 25,2%.9
Artikel Penelitian
http://jurnal.fk.unand.ac.id 112
Jurnal Kesehatan Andalas. 2013; 2(3)
Prevalensi diare di Indonesia sebanyak 9% dan Sumatera Barat termasuk dalam salah satu provinsi dengan prevalensi diare klinis di atas rata-rata yaitu 9,2%.9 Di Kota Padang, diare masih termasuk ke dalam 10 penyakit terbanyak yang diderita masyarakat. Kelompok umur terbanyak adalah anak berusia di bawah lima tahun (45,8%).10 Berdasarkan data diare Kota Padang Tahun 2011, terdapat 11.653 kasus diare dengan jumlah kasus pada balita sebanyak 4755 kasus (40,8%).11
Penelitian yang dilakukan oleh Scrimshaw, Taylor, dan Gordon (1968) memperlihatkan bahwa terdapat hubungan timbal balik antara diare dan malnutrisi. Diare dapat menimbulkan terjadinya malnutrisi dan sebaliknya, malnutrisi juga bisa menjadi penyebab timbulnya diare. Infeksi mempengaruhi status gizi melalui penurunan asupan makanan, penurunan absorpsi makanan di usus, meningkatkan katabolisme, dan mengambil nutrisi yang diperlukan tubuh untuk sintesis jaringan dan pertumbuhan. Di samping itu, malnutrisi bisa menjadi faktor predisposisi terjadinya infeksi karena menurunkan pertahanan tubuh dan mengganggu fungsi kekebalan tubuh manusia.12
Data dari Dinas Kesehatan Kota Padang Tahun 2011 menunjukkan bahwa kasus diare tertinggi di Kota Padang terdapat di Puskesmas Lubuk Buaya (12,3%). Jumlah kasus diare pada balita di Puskesmas Lubuk Buaya sebanyak 493 kasus (34,3%). Berdasarkan data kasus diare perkelurahan tahun 2011 di wilayah kerja Puskesmas Lubuk Buaya, kasus diare terbanyak ditemukan di Kelurahan Lubuk Buaya dengan 470 kasus (31,5%). Data dari hasil pemantauan status gizi Dinas Kesehatan Kota Padang Tahun 2011 di Puskesmas Lubuk Buaya memperlihatkan persentase balita dengan status gizi kurang sebanyak 10,02%. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat hubungan antara diare dengan status gizi balita di Kelurahan Lubuk Buaya Kecamatan Koto Tangah Kota Padang.
METODE
Jenis penelitian adalah studi observasional dengan desain cross sectional. Populasi penelitian adalah balita usia 12-60 bulan di Kelurahan Lubuk Buaya, Kecamatan Koto Tangah, Kota Padang. Sampel berjumlah 145 orang yang diambil berdasarkan metode proportionate random sampling pada 21 RW. Kriteria inklusi sampel adalah ibu dan balita berusia 12-60 bulan, bertempat tinggal di Kelurahan Lubuk Buaya, bersedia ikut dalam penelitian dengan menandatangani informed consent, dan ibu yang mampu berkomunikasi dengan baik. Kriteria eksklusi antara lain anak dengan cacat fisik (hidrosefalus, cerebral palsy, dan amputasi anggota gerak) dan anak yang mengalami sakit berat dalam sebulan terakhir, kecuali diare berat. Penelitian dilaksanakan dari bulan Maret 2012 sampai Maret 2013.
Variabel dependen penelitian adalah status gizi yang dinyatakan dengan variabel BB/U. Alat yang digunakan untuk menimbang berat badan anak yaitu timbangan injak merk Smic dengan kapasitas 150 kg dan ketelitian 0,1 kg dan hasilnya dikonversikan ke dalam bentuk nilai terstandar (Z-score) dengan menggunakan baku antropometri balita WHO 2005. Hasil ukurnya yaitu (1) Gizi baik (gizi baik: Z-score ≥ -2,0 s/d Z-score ≤2,0; gizi lebih: Z-score >2,0) dan (2) Gizi kurang (gizi kurang: Z-score ≥ -3,0 s/d Z-score <-2,0; gizi buruk: Z-score <-3,0). Variabel independen adalah riwayat diare, yaitu bertambahnya frekuensi defekasi lebih dari tiga kali sehari yang disertai dengan perubahan konsistensi tinja menjadi lebih cair, dengan/tanpa darah dan lendir dalam sebulan terakhir. Data didapatkan melalui wawancara langsung dengan hasil ukur pernah menderita diare atau tidak pernah menderita diare dalam sebulan terakhir.
Langkah-langkah pengolahan data yang dilakukan yaitu memeriksa kelengkapan data dari kuesioner, memberikan kode pada setiap data variabel yang telah terkumpul, memasukkan data ke dalam komputer dengan program Microsoft Excell dan Statistical Program for Social Science (SPSS) 17.0, dan memeriksa kembali data yang telah dimasukkan untuk memastikan bahwa data tersebut telah bersih dari kesalahan. Analisis data terdiri dari analisis univariat dan bivariat. Analisis bivariat digunakan untuk mengetahui hubungan antara dua variabel yaitu diare dengan status gizi menggunakan uji chi square dengan derajat kemaknaan p<0,05.
HASIL
1. Karakteristik Responden Ibu
Lebih dari setengah responden ibu berada dalam kelompok umur 30-39 tahun (51,7%) dengan rerata umur 33,1 tahun (SD ± 5,9). Sebagian besar ibu memiliki tingkat pendidikan baik dengan menyelesaikan pendidikan SLTA/sederajat (53,1%) dan tamat akademi/perguruan tinggi (24,1%). Sebanyak 83,4% ibu adalah ibu rumah tangga. Persentase jumlah anak dalam keluarga yang paling banyak adalah 2 orang (32,4%).
2. Karakteristik Responden Balita
Jenis kelamin perempuan ditemukan sebanyak 54,5% dan laki-laki 45,5%. Sebagian besar balita lahir dengan berat badan normal (97,9%) dan ditemukan kasus BBLR sebanyak 2,1%. Sebanyak 62,8% balita diberikan ASI eksklusif selama 6 bulan oleh ibunya. Ketersediaan jamban sudah baik karena hampir seluruh responden memiliki jamban keluarga di rumahnya (99,3%).
3. Status Gizi Balita
Tabel 1. Distribusi Balita Berdasarkan Status
Gizi BB/U di Kelurahan Lubuk Buaya
Status Gizi
Frekuensi
Persentase (%)
Gizi Baik
122
84,1
Gizi Kurang
20
13,8
Gizi Buruk
3
2,1
Jumlah
145
100
X¯ Z-Score = -1,1 (SD ± 0,9)
http://jurnal.fk.unand.ac.id 113
Jurnal Kesehatan Andalas. 2013; 2(3)
3. Riwayat Diare
Tabel 2. Distribusi Riwayat Diare Balita dalam Sebulan Terakhir di Kelurahan Lubuk Buaya
Diare
Frekuensi
Persentase (%)
Ya
37
25,5
Tidak
108
74,5
Jumlah
145
100
X¯ frekuensi = 1,0 kali (SD ± 0,0)
X¯ durasi = 3,0 hari (SD ± 2,0)
Tabel 3. Distribusi Balita Diare Berdasarkan Terjadinya Demam
Demam
Frekuensi
Persentase (%)
Ya
26
70,3
Tidak
11
29,7
Jumlah
37
100
Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa sebagian besar balita mengalami demam saat diare.
Tabel 4. Distribusi Balita Diare Berdasarkan Terjadinya Penurunan Nafsu Makan
Nafsu Makan
Frekuensi
Persentase (%)
Turun
30
81,1
Tidak turun
7
18,9
Jumlah
37
100
Berdasarkan Tabel 4 dapat dilihat bahwa sebagian besar balita mengalami penurunan nafsu makan saat diare.
Tabel 5. Distribusi Balita Diare Berdasarkan Tindakan Perawatan yang Diberikan Saat Sakit
Tindakan Perawatan
Frekuensi
Persentase (%)
Bidan/Dokter
28
75,7
Oralit
2
5,4
Dibiarkan saja
3
8,1
Obat tradisional
3
8,1
Obat dari apotek
1
2,7
Jumlah
37
100
Berdasarkan Tabel 5 dapat dilihat bahwa sebagian besar balita dibawa oleh ibunya ke bidan/dokter untuk mendapatkan perawatan ketika menderita diare.
4. Analisis Bivariat
Tabel 6. Hubungan Diare dengan Status Gizi Balita di Kelurahan Lubuk Buaya
Status Gizi
Diare
Jumlah
p value
Ya
Tidak
f
%
f
%
f
%
Gizi Baik
30
81,1
92
85,2
122
84,1
0,742
Gizi Kurang
7
18,9
16
14,8
23
15,9
Jumlah
37
100
108
100
145
100
x2 = 0,348; p = 0,742
Berdasarkan Tabel 6 dapat dilihat bahwa balita yang mengalami status gizi kurang lebih banyak terjadi pada balita diare dibandingkan dengan balita tidak diare. Namun, perbedaan tersebut secara statistik tidak bermakna (p 0,05).
PEMBAHASAN
1. Status Gizi Balita
Sebagian besar balita memiliki status gizi baik (84,1%) dan masih ditemukan balita gizi kurang sebanyak 13,8% serta gizi buruk 2,1%. Hasil tersebut menunjukkan bahwa persentase balita gizi kurang di Kelurahan Lubuk Buaya masih tinggi bila dibandingkan dengan persentase di Puskesmas Lubuk Buaya (10,0%), di Kota Padang (12,4%), dan di Indonesia (13,0%). Namun, masih lebih rendah dibandingkan dengan persentase di Sumatera Barat (14,4%). Angka kejadian gizi buruk lebih rendah dibandingkan prevalensi di Sumatera Barat (2,8%) dan di Indonesia (4,9%).4,5 Keadaan gizi kurang dapat disebabkan kurangnya asupan makanan, terkena infeksi, serta pola pengasuhan yang tidak baik terutama pola asuh makan.13
2. Diare pada Balita
Kejadian diare pada balita di Kelurahan Lubuk Buaya sebanyak 25,5%. Angka kejadiannya masih tinggi jika dibandingkan dengan prevalensi diare di Indonesia (16,7%) dan di negara berkembang lainnya seperti bagian rural Bangladesh (7,6%).9,14
Menurut Santoso dan Ranti (1995), anak balita lebih rentan menderita penyakit infeksi karena sudah mulai bergerak aktif untuk bermain, sehingga sangat mudah terkontaminasi oleh kotoran.15 Pudjiadi (2000) juga menjelaskan bahwa anak usia 2-5 tahun sudah mulai memiliki kebiasaan membeli makanan jajanan yang belum tentu terjaga kebersihannya, baik dalam pengolahan maupun penyajiannya, sehingga sangat mudah terkontaminasi oleh kuman yang bisa menyebabkan diare.16
Sebagian besar anak yang menderita diare mengalami demam (70,3%) dan penurunan nafsu makan (81,1%). Demam timbul sebagai respon tubuh saat terjadinya proses inflamasi akibat infeksi dan penurunan nafsu makan atau
http://jurnal.fk.unand.ac.id 114
Jurnal Kesehatan Andalas. 2013; 2(3)
asupan makanan terjadi sejalan dengan tingkat keparahan infeksi. Semakin parah infeksi yang terjadi maka penurunan asupan makanan akan semakin besar.17
3. Hubungan Diare dengan Status Gizi Balita
Balita yang mengalami status gizi kurang lebih banyak terjadi pada balita diare (18,9%) dibandingkan dengan balita tidak diare (14,8%). Namun, hasil analisis secara statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kejadian diare dalam sebulan terakhir dengan status gizi balita di Kelurahan Lubuk Buaya (p >0,05).
Penelitian lain yang dilakukan oleh Indriyasti di Puskesmas Karawaci Baru Kota Tangerang juga memperlihatkan hasil yang sama dengan peneliti yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara kejadian penyakit diare dengan status gizi balita.18 Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Martianto dkk pada balita di Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur yang mendapatkan hubungan signifikan antara keberadaan penyakit infeksi dengan status gizi anak.6
Rerata frekuensi diare pada balita adalah 1 kali dalam sebulan terakhir dan rerata durasi diare adalah 3,0 hari (SD±2,0). Penelitian Nurcahyo dkk pada balita usia 12-59 bulan di Kabupaten Bogor menunjukkan bahwa semakin sering frekuensi diare maka status gizi balita menurut BB/U akan semakin buruk.19 Demikian pula dengan penelitian yang dilakukan oleh Fatimah yang memperlihatkan bahwa semua anak dengan gizi kurang memiliki riwayat penyakit infeksi seperti diare berulang, ISPA berulang, dan tuberkulosis.20
Penelitian yang dilakukan oleh Rusmiati di RSU Dr.Tengku Mansyur Tanjungbalai Medan mendapatkan adanya hubungan antara lamanya kejadian diare dengan status gizi balita menurut BB/U.21 Sebagian besar ibu juga melakukan tindakan yang cepat dalam menanggulangi diare dengan membawa berobat ke tempat pelayanan kesehatan seperti bidan/dokter (75,7%) dan memberikan oralit/cairan rumah tangga (5,4%). Tindakan tersebut akan memperkecil terjadinya gangguan keseimbangan elektrolit pada anak karena prinsip utama dalam pengobatan diare akut adalah rehidrasi.22 Frekuensi diare yang jarang, durasi diare singkat, serta pemberian tindakan penanggulangan yang tepat menyebabkan diare yang terjadi tidak mempengaruhi status gizi balita secara bermakna.
Berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa kejadian balita gizi kurang di Kelurahan Lubuk Buaya cukup tinggi dan masih ditemukan kejadian balita gizi buruk. Kasus diare pada balita juga masih tinggi dan dari hasil uji statistik tidak terdapat hubungan yang bermakna antara diare dengan status gizi balita usia 12-60 bulan di Kelurahan Lubuk Buaya.
Daftar Pustaka
1. Departemen Kesehatan RI. Rencana pembangunan jangka panjang bidang kesehatan 2005-2025. Jakarta: 2009.
2. Katz R, Manikam R, Schuberth L. Pediatric and adolescent disorders. Dalam: Shils ME, Shike M, Ross AC, Caballero B, Cousins RJ (editor). Modern nutrition in health and disease. Edisi ke-
10. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2006. hlm. 876-80.
3. World Health Organization. Underweight in children. 2010 (diunduh 18 Maret 2012). Tersedia dari: http://www.who.int/gho/mdg/poverty_hunger/underweight_text/en/ index.html.
4. Riskesdas. Riset kesehatan dasar 2010. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI; 2010. hlm. 52.
5. Dinas Kesehatan Kota Padang. Pemantauan status gizi dinas kesehatan kota Padang tahun 2011. Padang: 2011.
6. Martianto D, Riyadi H, Hastuti D, Alfiasari, Briawan D. Penilaian situasi pangan dan gizi di kabupaten Lembata, provinsi NTT. Departemen Gizi dan Masyarakat: Institut Pertanian Bogor; 2006.
7. Suraatmaja S. Kapita selekta gastroenterologi anak. Jakarta: Sagung Seto; 2007. hlm. 1-22.
8. World Health Organization. Diarrhoeal disease. 2009 (diunduh 27 Maret 2012). Tersedia dari: http://www.who.intmediacentre/factsheets/fs330/en/index.html.
9. Riskesdas. Riset kesehatan dasar 2007. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI; 2007. hlm. 154; 325.
10. Dinas Kesehatan Kota Padang. Laporan tahunan tahun 2010 edisi 2011. Padang: 2011.
11. Dinas Kesehatan Kota Padang. Data diare kota Padang tahun 2011. Padang: 2012.
12. Brown KH. Diarrhea and malnutrition. J. Nutr. 2003; 133:328S-32S.
13. Supriatin A. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuh makan dan hubungannya dengan status gizi balita (skripsi). Bogor: Institut Pertanian Bogor; 2004.
14. Nutritional Surveillance Project. Nutrition and health surveillance in barisal division. Bangladesh: Helen Keller Worldwide; 2002.
15. Emiralda. Pengaruh pola asuh anak terhadap terjadinya balita malnutrisi di wilayah kerja puskesmas Montasik kecamatan Montasik kabupaten Aceh Besar tahun 2006 (tesis). Medan: Universitas Sumatera Utara; 2007.
16. Palupi A, Hadi H, Soenarto SS. Status gizi dan hubungannya dengan kejadian diare pada anak diare akut di ruang rawat inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Jurnal Gizi Klinik Indonesia. 2009;6(Pt 1): 1-7.
17. Scrimshaw NS. Historical concepts of interactions, synergism and antagonism between nutrition and infection. J. Nutr. 2003;133:316S-21S.
18. Indriyasti, S. Hubungan kejadian penyakit diare terhadap status gizi balita di puskesmas Karawaci Baru kota Tangerang (skripsi). Jakarta: Universitas Indonusa Esa Unggul; 2007.
19. Nurcahyo K, Briawan D. Konsumsi pangan, penyakit infeksi, dan status gizi anak balita pasca perawatan gizi buruk. Jurnal Gizi dan Pangan. 2010;5(Pt 3): 164-70.
20. Fatimah S, Nurhidayah I, Rakhmawati W. Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap status gizi pada balita di kecamatan Ciawi kabupaten Tasikmalaya (laporan akhir penelitian peneliti muda). Bandung: Universitas Padjadjaran; 2008.
21. Rusmiati. 2008. Gambaran pola konsumsi pangan dan status gizi anak balita penderita diare di ruang anak RSU Dr. Tengku Mansyur
http://jurnal.fk.unand.ac.id 115
Jurnal Kesehatan Andalas. 2013; 2(3)
Tanjungbalai tahun 2008 (skripsi). Medan: Universitas Sumatera Utara; 2008.
22. Petri WA, Miller M, Binder HJ, Levine MM, Dillingham R, Guerrant LR. Enteric infections, diarrhea, and their impact on function and development. J. Clin. Invest. 2008;118(Pt 4): 1277-90

posting 2


Abstrak
Gangguan psikologi dan sindrom dispepsia (seperti mual dan muntah) merupakan hal yang sering terjadi pada pasien kanker yang menjalani kemoterapi. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan depresi dengan sindrom dispepsia yang terjadi pada pasien keganasan yang menjalani kemoterapi. Metode penelitian ini menggunakan rancangan cross sectional dengan menggunakan kuisioner. Didapatkan pasien sebanyak 56 pasien keganasan yang menjalani kemoterapi di bangsal Penyakit Dalam, Bedah dan Obstetri & Ginekologi RSUP Dr. M. Djamil Padang selama 3 bulan (Desember 2012-Februari 2013). Depresi dinilai dengan wawancara menggunakan kuisioner BDI (Beck Depression Inventory) II. Dispepsia dinilai dengan menggunakan kuisioner pedoman skor dispepsia. Data dianalisis dengan SPSS 17 menggunakan analisis korelasi bivariat Spearman. Koefisien korelasi untuk depresi dan sindrom dispepsia adalah 0,387. Kesimpulan akhir dari penelitian ini adalah ada hubungan yang cukup dan searah (p<0,01) antara depresi dan sindrom dispepsia yang terjadi pada pasien keganasan yang menjalani kemoterapi.
Kata kunci: kanker, kemoterapi, depresi, sindrom dispepsia
Abstract
Psychological disorders and dyspepsia syndromes (such as nausea and vomiting) is a common thing in cancer patients undergoing chemotherapy. This study aims to examine the relationship of depression with dyspepsia syndrome that occurs in patients with malignancies who are undergoing chemotherapy. Methods this study uses cross-sectional design using questionnaires. Obtained for 56 patients who underwent chemotherapy malignancy patients in wards Internal Medicine, Surgery and Obstetrics & Gynecology in Hospital Dr. M. Djamil Padang for 3 months (December 2012-February 2013). Depression was assessed by interview using a questionnaire BDI (Beck Depression Inventory) II. Dyspepsia assessed using questionnaires guidelines dyspepsia score. Data were analyzed with SPSS 17 using bivariate Spearman correlation analysis. The correlation coefficients for depression and dyspepsia syndrome was 0.387. The final conclusion of this study is that there are sufficient and direct relationship (p <0.01) between depression and dyspepsia syndrome that occurs in patients with malignancies who are undergoing chemotherapy.
Keywords: cancer, chemotherapy, depression, dyspepsia syndrome
Affiliasi penulis : 1Mahasiswa S2 Farmasi Klinis Unand, 2Fakultas Farmasi Unand, 3Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK Unand
Korespondensi :Program Pascasarjana Fakultas Farmasi, Universitas Andalas. Email: 1monagerlonso@yahoo.com
Telp: 085263806220
PENDAHULUAN Kanker merupakan istilah umum untuk kelompok besar penyakit yang dapat mempengaruhi setiap bagian dari tubuh. Istilah lain yang digunakan adalah tumor ganas dan neoplasma.1 Di seluruh dunia, angka kejadian kanker meningkat dengan pesat sehingga merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas. Diperkirakan 500.000 orang yang tidak diklasifikasikan menurut usia dan jenis kelamin, telah meninggal setiap tahun karena kanker di Amerika Serikat.2
Penyakit keganasan (kanker) dan pemberian kemoterapi dapat berpengaruh terhadap fisik maupun emosional pada pasien.3 Gangguan pikiran (emosional) merupakan salah satu penyebab terjadinya keluhan dispepsia.4 Selain itu, masalah yang sering muncul pada pasien kemoterapi adalah efek samping yang timbul akibat obat-obatan kemoterapi. Efek samping yang sering terjadi pada pasien kemoterapi adalah mual, muntah, dan rasa tidak enak pada perut bagian atas (sindrom dispepsia) yang terjadi pada pasien setelah diberikan kemoterapi.5
Efek kemoterapi pada pasien dapat mempengaruhi secara biologis, fisik, psikologis, dan sosial. Efek kemoterapi sangat beragam tergantung kepada obat yang diberikan.6 Efek samping yang berat sering timbul pada pasien pasca kemoterapi dan sering kali tidak dapat ditoleransi oleh pasien, bahkan menimbulkan kematian. Frekuensi efek samping paling besar adalah gangguan mual dan muntah. Mual dan muntah dapat memberikan efek samping pada kualitas hidup pasien dimana mereka akan mengalami kesulitan dalam menjalankan aktivitas sehari-seharinya.5 Walaupun banyak antinausea dan antivomiting yang telah digunakan dalam pengobatan, efek mual dan muntah yang disebabkan oleh kemoterapi masih merupakan penyebab terbesar terhadap perubahan kualitas hidup pasien kanker. Dan juga pengobatan dengan antinausea dan antivomiting memiliki efek yang terbatas dalam hal mengurangi gejala mual dan muntah yang tertunda daripada mual dan muntah akut.7
Suatu penelitian meta-analisis di Amerika menyatakan bahwa sekitar 50% pasien dengan kanker stadium lanjut memenuhi kriteria untuk gangguan
Artikel Penelitian
http://jurnal.fk.unand.ac.id 138
Jurnal Kesehatan Andalas. 2013; 2(3)
psikiatri, yang paling umum adalah gangguan
penyesuaian (11-35%) dan depresi berat (5-26%)8.
Depresi merupakan gejala umum pada pasien kanker
yang sulit dideteksi, sehingga konsekuensinya perlu
untuk dirawat. Hal ini memburuk selama dalam
pengobatan kanker, berlanjut lama setelah akhir terapi
dan berpengaruh negatif terhadap kualitas hidup.
Pasien kanker yang menjalani kemoterapi biasanya
mengalami berbagai gejala sebagai akibat dari
penyakit atau dari kemoterapi itu sendiri. Gejala ini
mempengaruhi pasien, baik secara fisik maupun
emosional dan lebih jauh lagi memberikan pengaruh
negatif terhadap pengobatan, prognosis penyakit dan
kualitas hidup pasien.2 Morrel (1991) menyimpulkan
dispepsia merupakan keluhan yang berarti dari
pasien-pasien dengan adanya gangguan psikiatri,
terutama ansietas, depresi atau ciri kepribadian.9
Berdasarkan hal tersebut maka dilakukan
penelitian untuk mengetahui hubungan faktor depresi
dan sindrom dispepsia pada pasien penderita penyakit
keganasan yang menjalani kemoterapi di RSUP DR.
M.Djamil Padang serta meningkatkan peran farmasis
dalam pelayanan kefarmasian yaitu dengan
mengetahui efek samping khususnya sindrom
dispepsia yang mungkin terjadi pada pasien dalam
menjalani kemoterapi sehingga dapat tercapai kualitas
hidup pasien yang lebih baik.
METODE
Penelitian dilaksanakan selama 3 bulan
(Desember 2012 - Februari 2013) di RSUP dr.
M.Djamil Padang di tiga SMF yaitu Bedah, Penyakit
Dalam dan Obstetri & Ginekologi. Metode penelitian
yang digunakan adalah rancangan cross sectional.
Studi cross sectional ini sering juga disebut
sebagai studi prevalensi atau survei. Studi cross
sectional mengukur variabel dependen dan
independen secara bersamaan10. Pada penelitian ini
variabel independennya adalah pasien keganasan
yang menjalani kemoterapi sedangkan variabel
dependennya adalah depresi dan sindrom dispepsia.
Populasi pada penelitian ini adalah semua pasien
keganasan di RSUP dr. M.Djamil Padang. Subjek
penelitian yang dipilih adalah semua populasi yang
memenuhi kriteria inklusi dan kriteria eksklusi.Kriteria
inklusi subjek adalah: pasien keganasan dengan usia
≥ 18 tahun dan sudah pernah menjalani kemoterapi
satu siklus (kemoterapi ke-2 dan seterusnya), memiliki
kemampuan untuk mengisi kuisioner. Kriteria eklusi
subjek adalah: pasien yang baru pertama kali
menjalani kemoterapi (siklus kemoterapi ke-1), pasien
yang menderita psikotik, pasien yang mengalami
penurunan kesadaran. Selama 3 bulan penelitian,
didapatkan subjek sebanyak 56 pasien.
Data diperoleh dari wawancara pasien dan
kuisioner. Lembar pengumpul data meliputi : Kuisioner
untuk mengukur depresi atau tidaknya pasien.
Kuisioner yang digunakan adalah BDI II (Beck
Depression Inventory II) versi Bahasa Indonesia. BDI
II telah divalidasi sebagai alat pengukur depresi yang
sensitif, spesifik dan prediktif.11 Kuisioner pedoman
skor dispepsia. Skor dispepsia adalah skor untuk
menentukan derajat berat ringannya dispepsia. Yang
dinilai adalah anoreksia, nausea, rasa cepat kenyang,
kembung, muntah dan nyeri perut.12
Data dianalisis dengan menggunakan SPSS 17
dengan menggunakan korelasi bivariat Spearman. Uji
korelasi bivariat Spearman digunakan untuk mengukur
kuat lemahnya hubungan antara dua variabel yaitu
variabel derajat depresi dengan variabel derajat
sindrom dispepsia pasien keganasan yang menjalani
kemoterapi. Korelasi dapat menghasilkan angka positif
(+) dan negatif (-). Positif menunjukkan kedua variabel
bersifat searah sedangkan negatif menunjukkan kedua
variabel bersifat tidak searah. Angka korelasi berkisar
antara 0 s/d 1. Dengan ketentuan jika angka
mendekati 1, hubungan variabel semakin kuat, dan
jika angka korelasi mendekati 0, hubungan korelasi
semakin lemah.13
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari penelitian yang telah dilakukan selama 3
bulan (Desember 2012 sampai Februari 2013) di
RSUP dr. M. Djamil Padang didapatkan pasien
keganasan yang menjalani kemoterapi sebanyak 56
orang. Karakteristik pasien dan parameter dapat dilihat
pada tabel berikut.
Tabel 1. Data distribusi pasien keganasan yang
menjalani kemoterapi berdasarkan jenis kelamin
Jenis Kelamin
Jumlah
(n = 56)
Persentase
(%)
- Laki-laki
- Perempuan
3
53
5,4%
94,6%
Dari penelitian selama 3 bulan didapatkan
distribusi pasien laki-laki sebanyak 3 orang (5,4%) dan
pasien perempuan sebanyak 53 orang (94,6%). Dari
data ini dapat diketahui, pasien keganasan paling
banyak diderita oleh pasien perempuan.
Tabel 2. Data distribusi umur pasien keganasan yang
menjalani kemoterapi
Umur Jumlah
(n = 56)
Persentase
(%)
- < 20 tahun
- 20-29 tahun
- 30-39 tahun
- 40-49 tahun
- 50-59 tahun
- 60-69 tahun
- 70-79 tahun
Mean SD
Mode
Min s/d Maks
1
4
10
20
16
3
2
45,9±11,8
48 dan 52
18 s.d 72
1,8%
7,1%
17,9%
35,7%
28,6%
5,4%
3,6%
Dari tabel distribusi umur pasien keganasan,
diketahui rata-rata pasien keganasan dalam penelitian
ini adalah pada kelompok umur 40-49 tahun, dan
kelompok umur yang paling banyak adalah pada umur
48 dan 52 tahun (35,7%).
Tabel 3. Distribusi derajat depresi pada pasien
keganasan yang menjalani kemoterapi
Derajat Depresi
Jumlah
(n = 56)
Persentase
(%)
- Depresi minimal
- Depresi ringan
- Depresi sedang
- Depresi berat
29
21
6
0
51,8%
37,5%
10,7%
0%
http://jurnal.fk.unand.ac.id 139
Jurnal Kesehatan Andalas. 2013; 2(3)
Dari data distribusi derajat depresi pasien keganasan yang menjalani kemoterapi yang dinilai dengan kuisioner BDI II, didapatkan pasien yang mengalami depresi minimal sebanyak 29 orang (51,8%), depresi ringan sebanyak 21 orang (37,5%), depresi sedang ada 6 orang (10,7%), dan tidak didapatkan pasien dengan derajat depresi berat.
Tabel 4. Distribusi derajat dispepsia pada pasien keganasan yang menjalani kemoterapi
Derajat Dispepsia
Jumlah (n = 56)
Persentase (%)
- Tidak ada keluhan
- Ringan
- Sedang
- Berat
10
31
14
1
17,9%
55,4%
25%
1,8%
Dari data distribusi derajat dispepsia pada pasien keganasan yang menjalani kemoterapi diketahui pasien paling banyak mengalami dispepsia ringan yaitu 31 orang (55,4%), diikuti dengan dispepsia sedang sebanyak 14 orang (25%), tidak ada keluhan sebanyak 10 orang (17,9%) dan dengan keluhan dispepsia berat ada 1 orang (1,8%).
Tabel 5. Hubungan derajat dispepsia dengan derajat depresi menggunakan korelasi bivariant Spearman
Derajat depresi
Derajat dispepsia
Correlation Coefficient
.387**
Sig. (2-tailed)
.003
N
56
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Dalam penelitian ini akan dikaji bagaimana hubungan (korelasi) faktor depresi dengan sindrom dispepsia yang dialami pasien kanker yang menjalani kemoterapi. Analisis dilakukan dengan uji korelasi bivariat Spearman. Hasil pengujian SPSS 17 yang menggunakan korelasi Spearman didapatkan koefisien korelasi Spearman 0,387. Nilai ini menunjukkan korelasi cukup dan bermakna secara statistik (p < 0,01) antara dispepsia yang terjadi pada pasien kemoterapi dengan depresi. Nilai korelasi yang positif menunjukkan adanya hubungan yang searah antara terjadinya dispepsia dan depresi pasien kemoterapi.
Penelitian lain yang mendukung penelitian ini seperti yang diteliti Johnsen R dan kawan kawan (1998) mengatakan pada kejadian dispepsia non ulkus dan fungsional menunjukkan hubungan dengan faktor psikologi dan kondisi-kondisi sosial. Demikian juga Haug TT dan kawan kawan (1995) yang menemukan pasien pasien dengan dispepsia fungsional mempunyai tingkat yang lebih tinggi kecemasannya, psikopatologi, depresi dan keluhan somatik.14
Dalam penelitian lain mengenai korelasi skor dispepsia dan skor kecemasan di RSUD Prof. DR. Margono Soekarjo Purwokerto mendapatkan adanya korelasi antara skor dispepsia dan skor kecemasan dengan nilai koefisien Spearman 0,775, yang berarti bahwa kekuatan korelasi antara kedua variabel tersebut kuat.15 Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Chen et al (2006) pada pasien dispepsia fungsional di Taipei Veterans General Hospital yang mengemukakan bahwa kecemasan secara signifikan berpengaruh terhadap pasien dengan dispepsia fungsional. Semakin tinggi tingkat kecemasan seseorang maka semakin tinggi pula tingkat keparahan dispepsia fungsionalnya, dan hal ini berlaku sama baik untuk laki-laki maupun perempuan. Henningsen et al (2003) membenarkan hubungan yang sangat signifikan antara dispepsia fungsional dan irritable bowel syndrome (IBS) dengan kecemasan dan depresi.16
Murni (2011) dalam penelitiannya terhadap level kortisol serum pada pasien dispepsia dengan gangguan psikosomatis mendapatkan hasil bahwa penderita sindrom dispepsia dengan gangguan psikosomatik terutama depresi terdapat peningkatan nilai kortisol serum pada pagi hari bermakna secara statistik (p< 0,05) dibandingkan dengan kelompok kontrol (tidak mengalami gangguan psikosomatik).17 Interaksi faktor psikis dengan gangguan saluran cerna diyakini melalui mekanisme brain – gut – axis. Adanya stimulasi atau stresor psikis mempengaruhi keseimbangan sistem syaraf otonom, mempengaruhi fungsi hormonal, serta sistem imun (psiko – neuro- imun - endokrin). Jalur tersebut secara langsung atau tidak langsung, terpisah atau bersamaan dapat mempengaruhi saluran cerna, mempengaruhi sekresi, motilitas, vaskularisasi dan menurunkan ambang rasa nyeri.18
Gangguan sekresi pada lambung dapat terjadi karena gangguan jalur endokrin melalui poros hipotalamus – pituitary – adrenal (HPA axis). Pada keadaan ini terjadi peningkatan kortisol dari korteks adrenal akibat rangsangan dari korteks serebri diteruskan ke hipofisis anterior sehingga terjadi pengeluaran hormon kortikotropin. Peningkatan kortisol ini akan merangsang produksi asam lambung dan dapat menghambat Prostaglandin E yang merupakan penghambat enzim adenil siklase pada sel parietal yang bersifat protektif terhadap mukosa lambung.19
Dengan demikian akan terjadi gangguan keseimbangan antara peningkatan asam lambung (faktor agresif) dengan penurunan prostaglandin (faktor defensif) sehingga menimbulkan keluhan sebagai sindroma dispepsia. Peninggian kortisol pada penderita dispepsia ini menurut Wehr (1982) didapatkan 9% pada depresi berat. Penelitian tersebut menyebutkan terdapat peningkatan nilai kortisol pada pasien yang mengalami gangguan psikosomatik seperti depresi.20
Keterbatasan Penelitian
Dalam penelitian ini, terdapat keterbatasan penelitian yaitu tidak memperhatikan jenis jenis antineoplastik, rute pemberian obat yang diberikan serta obat anti mual dan muntah pada pasien keganasan yang menjalani kemoterapi. Faktor jenis antineoplastik dengan tingkat emetogenik yang berbeda-beda serta obat antimual dan muntah dapat mempengaruhi derajat sindrom dispepsia yang dialami pasien dan tentu saja juga dapat mempengaruhi derajat depresi pasien.
KESIMPULAN
Dari penelitian ini didapatkan kesimpulan bahwa derajat depresi yang banyak dialami pasien keganasan yang menjalani kemoterapi adalah depresi minimal diikuti depresi ringan dan depresi sedang, sedangkan untuk derajat dispepsia yang banyak dialami pasien keganasan yang menjalani kemoterapi adalah dispepsia ringan diikuti dispepsia sedang lalu dispepsia berat. Ada hubungan yang cukup bermakna
http://jurnal.fk.unand.ac.id 140
Jurnal Kesehatan Andalas. 2013; 2(3)
secara statistik dan searah antara depresi dan sindrom dispepsia pada pasien keganasan yang menjalani kemoterapi.
DAFTAR PUSTAKA
1. World Health Organization. World Health Report 2001. Mental health: new understanding, new hope. Geneva: WHO; 2009.
2. Polikandrioti M, Evaggelou E, Zerva S, Zerdila M, Koukoularis D, Kyritsi E. Evaluation of depression in patients undergoing chemotherapy. Health Science Journal. 2008; 2(2): 162-72.
3. Schwartz S, Zahasky K. Psychological aspect of chemotherapy. CME Journal of Gynecologic Oncology. 2008; 13: 7-20.
4. Mudjadid E. Permasalahan Gangguan psikomatik dalam ruang lingkup penyakit dalam. Simposium Gangguan Psikomatik di Bidang Penyakit Dalam. Medan: Juni 2001; 1–8.
5. Perwitasari DA. Pengukuran kualitas hidup pasien kanker sebelum dan sesudah kemoterapi dengan EORTC QLQ-C30 di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Majalah Farmasi Indonesia. 2009; 20(2).
6. Carroll JK, Colmar D, Moseley F, Morrow GR, Mustian KM, Pierre PJ, Williams GC. Oncologist: Integrative nonpharmacologic behavioral interventions for the management of cancer-related fatigue. 2007.
7. Bassam ARH, Zuraidah BMY. Negative impact of chemotherapy on breast cancer patients QOL – utility of antiemetic treatment guidelines and the role of race. Asian Pacific Journal of Cancer Prevention. 2010; 11:1523-27.
8. Miovic M, Block S. Psychiatric disorders in advanced cancer. Cancer. 2007. October 15; 110(8).
9. Llyod GG. Depression and gastrointestinal and liver disorders in depression and physical illness. Vol-6. England: John Wiley & Sons; 293 – 302.
10. Candra B. Metodologi penelitian kesehatan. Jakarta: EGC; 2008.
11. Gendelman N, Snel-Bergeon J, McFann K, Kinney G, Wadwa P, Bishop F, Rewers M, Maahs D. Prevalence and correlates of depression in individuals with and without type 1 diabetes. Diabetes Care. 2009; 32(4).
12. Murni AW. Hubungan depresi dengan infeksi helicobacter pylori serta perbedaan gambaran histopatologi mukosa lambung pada penderita dispepsia dungsional (tesis). Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2010.
13. Sarwono J. Panduan cepat dan mudah SPSS 14. Penerbit Andi; 2006.
14. Tarigan CJ. Perbedaan depresi pada pasien dispepsia fungsional dan dispesia organik. Bagian Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 2003.
15. Kusuma NHS, Arinton IG, Paramita H. Korelasi skor dispepsia dan skor kecemasan pada pasien dispepsia rawat jalan klinik Penyakit Dalam di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto. Mandala of Health. 2011; 5(3).
16. Henningsen P, Zimmermann T, Sattel H. Medically unexplained physical symptoms, anxiety, and depression. A meta-analytic review. Psycosom Med. 2003; 65: 528-33.
17. Murni AW. Plasma cortisol levels in dyspepsia with psychosomatic patients. Sub Divisi Bagian Psikosomatis Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Andalas. Padang. 2011.
18. Zubir N. Diagnosis dan penatalaksanaan dispepsia fungsional. Dalam: Manaf A, Elfizon A, Fauzar, editor (penyunting): Naskah lengkap PIB IPD III. Padang: Bag. Penyakit Dalam FKUA; 2002. hlm. 115-22.
19. Levenstein S. A very model of a modern etiology: A biopsychosocial view of peptic ulcer. Psychosomatic Medicine. 2000; (62): 176 – 83.
20. Daldiyono H. Tukak stress pada penderita strok, aspek patofisiologi (disertasi). Jakarta: FKUI; 1995..

TINGKAT KECEMASAN DAN BEBAN KELUARGA PADA PENDERITA DIABETES MELITUS dan KARAKTERISTIK PASIEN DAN KUALITAS HIDUP PASIEN GAGAL GINJAL KRONIK YANG MENJALANI TERAPI HEMODIALISA


posting 1

Abstrak
Tingkat kecemasan keluarga klien dipengaruhi oleh koping dan tingkat pengetahuan, informasi dan keyakinan. Lingkungan penuh ancaman dan tuntutan ekonomi akan perawatan anggota keluarga yang menderita diabetes melitus dengan komplikasi kronik, dalam waktu yang tidak singkat dalam perawatannya yang menimbulkan beban keluarga. Keluarga merasa terbebani pada pasien yang menderita diabetes melitus, karena diabetes melitus merupakan penyebab kesakitan dan mematikan , sehingga keluarga merasa stres dan cemas akan masa depan keluarganya, dengan terjadi nya komplikasi akut dan kronik, juga mempengaruhi beban ekonomi dalam pengobatan dan perawatannya dalam waktu tidak singkat .
Kata Kunci: Tingkat kecemasan, beban keluarga
1. Pendahuluan
Dalam dunia kesehatan penyakit diabetes melitus termasuk penyakit yang tidak menular, namun merupakan salah satu penyakit degeneratif yang bersifat kronis. Diabetes Melitus merupakan ganguan kesehatan dan kumpulan gejala yang disebabkan oleh peningkatan kadar gula darah akibat kekurangan ataupun resistensi insulin, serta adanya komplikasi yang bersifat akut dan kronik (Bustan, 2007). Peningkatan jumlah penderita diabetes sebagian besar dipengaruhi oleh gaya hidup masyarakat. Diabetes juga memberikan pengaruh beban ekonomi yang besar untuk pengobatannya (Tandra, 2007).
Menurut organisasi kesehatan dunia (WHO) pada tahun 2010 menunjukan jumlah penderita diabetes melitus di dunia sekitar 171 juta dan diprediksikan akan meningkat dua kali,
366 juta jiwa tahun 2030. Di Asia Tenggara terdapat 46 juta pada tahun 2000 diperkirakan meningkat menjadi hingga 119 juta jiwa. Di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2008 diperkirakan menjadi 21,3 juta pada tahun 2030. Indonesia merupakan urutan kelima di dunia sebagai negara dengan jumlah penderita diabetes melitus terbanyak setelah Bangladesh, Bhutan, Cina, India (Bustan, 2007). Pada tiga daerah di Indonesia memiliki tingkat prevalensi diabetes melitus diatas 1,5% akibat dari gaya hidup dan pola makan yaitu Sumatra utara, Jawa Timur dan Sulawesi Utara ( Riskesdas, 2010).
Kecemasan merupakan suatu perasaan yang sifatnya umum, dimana seorang yang mengalami cemas, merasa ketakutan atau kehilangan kepercayaan diri dan merasa lemah sehingga tidak
mampu untuk bersikap dan bertindak secara rasional (Wiramihardja, 2007).
Tingkat kecemasan mempunyai karakteristik atau manifestasi yang berbeda satu sama lain, manifestasi yang terjadi tergantung pada kematangan pribadi, pemahaman dalam menghadapi ketegangan, harga diri dan mekanisme yang digunakannya (Asmadi, 2008).
Tingkat kecemasan keluarga klien dipengaruhi oleh koping dan tingkat pengetahuan, informasi dan keyakinan (Setyowati, 2008). Lingkungan penuh ancaman dan tuntutan ekonomi akan perawatan anggota keluarga yang menderita diabetes melitus dengan komplikasi kronik, dalam waktu yang tidak singkat dalam perawatannya, maka situasi tersebut menimbulkan beban keluarga. (Sukarmin & Riyadi, 2008)
Keluarga merasa terbebani pada pasien yang menderita diabetes melitus, karena diabetes melitus merupakan penyebab kesakitan dan mematikan , sehingga keluarga merasa stres dan cemas akan masa depan keluarganya, dengan terjadi nya komplikasi akut dan kronik, juga mempengaruhi beban ekonomi dalam pengobatan dan perawatannya dalam waktu tidak singkat (Fontane, 2009).
Kecemasan adalah perasaan was-was, kuatir atau tidak nyaman, dan tidak menyenangkan, yang di ikuti oleh reaksi fisiologis seperti perubahan detak jantung dan pernapasan (Marlindawani dkk, 2008).
2. Tingkat kecemasan
Suliswati (2009) menggolongkan kecemasan dalam empat tingkat, yaitu :
a. Kecemasan ringan, pada kecemasan ringan ini ketegangan yang dialami sehari-hari dan menyebabkan pasien menjadi waspada dan lapangan persepsi
meningkat. Pada tingkat kecemasan ringan ini dapat motivasi dan menghasilkan kreativitas. Manifestasi fisiologisnya berupa yaitu sesekali nafas pendek, berdebar-debar, nadi dan tekanan darah naik, gejala ringan pada lambung dan muka berkerut serta tangan gemetar. Manifestasi kognitifnya berupa, mampu menerima rangsangan yang kompleks, konsentrasi pada masalah dan menyelesaikan masalah secara efektif. Sedangkan manifestasi perilaku dan emosi yang muncul adalah tidak dapat duduk tenang, gerakan halus pada tangan, suara kadang meninggi dan menggunakan mekanisme koping yang minimal.
b. Kecemasan sedang, Gejala fisik yang timbul pada kecemasan sedang berupa sering nafas pendek, nadi dan tekanan darah meningkat, mulut kering, anoreksia, diare, konstipasi, dan gejala psikologis yang timbul seperti persepsi memnyempit, tidak mampu menerima rangsanagan, berfokus pada apa yang menjadi perhatiannya, gerakan tersentak, meremasi tangan, bicara banyak dan cepat, insomnia, perasaan tak aman dan gelisah (Pieter , 2010).
c. Kecemasan berat yang timbul berupa nafas pendek, tekanan darah dan nadi naik, berkeringat, sakit kepala, penglihatan kabur, dan ketegangan, sedangan gejala psikologis yang timbul lapangan persepsi sangat sempit, tidak mampu menyelesaikan masalah, perasaan terancam, verbalisasi cepat. Penyakit diabetes melitus
dipersepsikan sebagai ancaman dalam kehidupan karena kebutuhan untuk bertahan yang tidak terpenuhi. Menurut Pieter (2010). Gejala fisik yang timbul seperti nafas pendek, tekanan darah dan nadi naik, aktivitas motorik meningkat, ketegangan, dan sedangkan gejala psikologis yang timbul lapangan persepsi sangat menyempit, hilangnya rasional, tidak dapat melakukan aktivitas, perasaan tidak enak dan terancam semangkin meningkat, menurunnya hubungan dengan orang lain dan tidak dapat kendalikan diri.
d. Panik pada tahap ini lapangan persepsi sudah terganggu, sehingga individu tidak mampu mengendalikan diri dan tidak dapat melakukan apa-apa walaupun sudah diberi tuntunan. Manifestasi fisiologis yang muncul berupa : nafas pendek, rasa tercekik, palpitasi dan sakit dada, pucat, hipertensi dan kordinasi motorik rendah. Manifestasi kognitif berupa lapangan pandang persepsi menyempit dan tidak berfikir logis. Sedangkan manifestasi perilaku dan emosi yang muncul adalah mengamuk, marah, ketakutan, berteriak, dan kehilangan kendali
Menurut Ali (2009) keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari kepala keluarga dan beberapa orang berkumpul serta tinggal di suatu tempat di bawah satu atap dalam keadaan saling bergantung.
Beban Keluarga adalah tingkat pengalaman distres keluarga sebagai efek dari kondisi anggota keluarga, yang dapat menyebabkan meningkatnya stres emosional dan ekonomi dari keluarga, sebagaimana respon keluarga terhadap komplikasi dan akan perawatan anggota keluarga yang menderita diabetes melitus dengan komplikasi kronik, dalam waktu yang tidak singkat dalam perawatannya (Fontane, 2009).
3. Jenis-jenis beban keluarga
Jenis beban keluarga ada tiga menurut Fontane (2009) :
a. Beban obyektif merupakan beban dan hambatan yang dijumpai dalam kehidupan suatu keluarga yang berhubungan dangan pelaksanaan merawat salah satu anggota keluarga yang menderita. Yang termasuk dalam beban obyektif adalah beban biaya finansial untuk merawat dan pengobatan, tempat tinggal, makan, dan trasportasi.
b. Beban subyektif merupakan beban yang berupa distres emosional yang dialami anggota keluarga yang berkaitan dengan tugas merawat anggota keluarga yang menderita. Yang termasuk kedalam beban obyektif adalah ansietas akan masa depan, sediah, prustasi, merasa bersalah, kesal, dan bosan.
c. Beban iatrogenik merupakan beban yang disebabkan karena tidak berfungsinya sistem pelayanan kesehatan jiwa yang dapat mengakibatkan intervensi dan rehabilitas tidak berjalan sesuai fungsinya, termasuk dalam beban ini, bagaimana sistem rujukan dan program pendidikan kesehatan.
4. Fungsi Dan Tugas Keluarga
Fungsi keluarga menurut Ali (2009). Friedman membagi fungsi keluarga menjadi 5
Fungsi afektif Keluarga mengembangkan gambaran diri yang positif, peran dijalankan dengan baik, dan penuh kasih sayang terhadap angota keluarga.
Fungsi sosialalisasi Proses perkembangan dan perubahan individu menghasilkan interaksi sosial, dan menjalankan perannya di dalam lingkungan sosial, Keluarga merupakan tempat individu melaksanakan sosialisasi dengan anggota keluarga untuk belajar di siplin, norma budaya, perilaku interaksi terhadap keluarga sehingga mampu berperan dalam masyarakat.
Fungsi reproduksi Untuk meneruskan kelangsungan keturunan dan menambah sumber daya manusia
Fungsi ekonomi Fungsi ekonomi adalah melakukan kegiatan ekonomi baik diluar maupun di dalam kehidupan keluarga memenuhi kebutuhan seluruh anggota keluarganya seperti sandang, pangan, dan papan. Mengelola ekonomi keluarga sehingga terjadi keserasian, keselamatan, keseimbangan, antara pemasukan dan pengeluaran keluarga. Sehingga anggota rumah tangganya berjalan serasi, selaras, dan seimbang. Ekonomi keluarga untuk mewujudkan keluarga bahagia dan sejahtera.
Fungsi perawatan keluarga Kemamupan keluraga melakukan asuhan keperawatan atau pemeliharaan kesehatan mempengaruhi status kesehatan keluarga dan individu
Peran adalah seperangkat perilaku interpersonal, sifat dan kegiatan yang berhubungan dengan individu dalam posisi dan satuan tertentu. Setiap anggota keluarga mempunyai peran masing-masing, Ayah sebagai pemimpin keluarga, pencari nafkah, pendidik, pelindung atau pengayom, pemberi rasa aman, dan sebagai anggota masyarakat kelompok sosial. Sedangkan Ibu sebagai pengurus rumah tangga, pengasuh, pendidik anak-anak, pelindung keluarga dan sebagai anggota masyarakat, Sedangkan Anak berperan sebagai pelaku psikososial sesuai dengan perkembangan fisik, mental, sosial, dan spritual (Ali, 2009).
Menurut setyowati (2008). Peran perawatan dalam membantu keluarga dalam menyelesaikan masalah atau melakukan perawatan kesehatan keluarga sebagai berikut
a. Pendidik
Perawat perlu memberikan pendidikan kesehatan kepada keluarga dengan tujuan keluarga dapat melakukan program asuhan keluarga secara mendiri, dan keluarga bertanggung jawab terhadap masalah kesehatannya.
b. Koordinator
Koordinasi diperlukan pada perawatan berkelanjutan agar pelayanan yang komprehensif dapat tercapai dan untuk mengatur program kegiatan terapi.
c. Pelaksana
Perawat bertanggung jawab dalam memberikan perawatan langsung kepada pasien baik dirumah ataupun dirumah sakit. Perawat mendemonstrasikan kepada kleuarga asuhan keperawatan .
d. Pengawas kesehatan
Perawat melakukan home visite atau kunjungan rumah yang teratur untuk melakukan pengkajian tentang kesehatan keluarga.
e. Konsultan
Perawat sebagai nara sumber bagi keluarga dalam mengatasi masalah kesehatan. Dan harus ada bina
hubungan saling percaya (BHSP) antara perawat dengan keluarga.
f. Kolaborasi
Kolaborasi tidak hanya dilakukan dirumah sakit tetapi juga dikeluarga komunitas.
g. Fasilitator
Membantu keluarga dalam menghadapi masalah dan meningkatkan derajat kesehatan yang optimal dengan sistem rujukan dan dana sehat.
Diabetes melitus adalah gangguan hiperglikemia yang disebabkan oleh ketidakadekutan insulin yang dapat menyebabkan ketoasidosis diabetik. Diabetes melitus dapat diklasifikasikan menjadi diabetes melitus tipe 1 (insulin–dependen diabetes mellitus atau IDDM), tipe II (non insulin-dependent diabetes mellitus atau NIDDM) (Tucker, 2008).
Diabetes tipe 1 (IDDM) disebakan oleh gangguan sel beta pangkreas, berhubungan dengan anti bodi Islet Cell Antibodies (ICA), Insulin Autoantibodies (IAA), dan Glutamic Acid Decarboxylase Antibodies (GADA). Dan terjadi destruksi sel Beta, yang ditandai dengan defisiensi insulin absolut (Bustan, 2007). Diabetes Tipe II (NIDDM) merupakan diabetes yang paling sering ditemukan di Indonesia. Penderita tipe ini biasanya ditemukan pada usia di atas 40 tahun disertai berat badan yang berlebih. Selain itu diabetes tipe II ini dipengaruhi oleh faktor genetik, keluarga, obesitas, diet tinggi lemak, serta kurang gerak badan (Utama, 2007). Menurut (tucker, 2008) diabetes melitus Tipe 11 (NIDDM) di sebabkan oleh kerusakan sekresi insulin, resistensi insulin, dan peningkatan produksi glukosa oleh hati.
Diabetes melitus merupakan penyakit yang memiliki komplikasi, jika gula darah tidak terkontrol dengan baik beberapa tahun kemudian akan timbul komplikasi. Komplikasi akibat diabetes yang timbul dapat berupa komplikasi akut dan kronis.
5. Gejala Diabetes melitus
Tanda awal yang dapat diketahui bahwa seseorang menderita DM atau kencing manis yaitu dilihat langsung dari efek peningkatan kadar gula darah, dimana peningkatan kadar gula dalam darah mencapai nilai 160 - 180 mg/dL dan air seni (urine) penderita kencing manis yang mengandung gula (glucose), sehingga urine sering dikerubuti semut (Utama, 2010).
6. Komplikasi Diabetes Melitus
Komplikasi akut merupakan komplikasi yang muncul secara mendadak. Keadaan bisa fatal jika tidak segera ditangani dan kompliksai akut masih menjadi masalah utama karena angka kematiannya masih tinggi
Komplikasi kronik dapat berupa komplikasi makrovaskular seperti penyakit jantung koroner, pembuluh darah otak, dan mikrovaskular adalah retinopati, nefropati, neuropati (Sukarmin dan Riyadi, 2008).
7. Simpulan dan saran
Tingkat kecemasan dan beban keluarga pada pasien diabetes melitus dipengaruhi oleh kurangnya pengetahuan tentang penyakit diabetes melitus, adanya komplikasi dan tidak memiliki cukup biaya untuk pengobatannya. Tingkat kecemasan yang terus meningkat maka dapat mengakibatkan depresi pada keluarga diabetes melitus, sehingga dapat mempengaruhi kondisi keluarga.
Upaya-upaya yang dapat dilakukan adalah melakukan pengelolaan Diabetes Melitus secara tepat, penyuluhan kesehatan masyarakat rumah sakit dan
melakukan perawatan pasien secara holistik.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Zaidin. (2010). Pengantar Keperawatn Keluarga. Jogjakarta : Mitra Cendikia.
Asmadi. (2010). Teknik prosedural keperawatan konsep dan aplikasi kebutuhan dasar klien. Jakarta : Salemba Mediska
Bustan, M.N. (2007). Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Jogjakarta : Rineka Cipta.
Fontaine, K.L.(2009) Mental health
nursing.6th ed. New Jersey: Pearson Prentice Hall
Lumongga, Pieter. (2010). Pengantar Psikologi Dalam keperawatan, Jakarta : kencana
Marlindawani dkk. (2008). Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan Masalah Psikologi dan Gangguan Jiwa. Medan. USU Press
Murwani & Setyowati. (2008). Asuhan Keperawat Keluarga. Jogjakarta : Mitra Cendik
Riskesdas. (2010). Penyakit Diabetes , Diakses tanggal 29 april pukul 20.00 Wib http://indonesia4lifetransferfactor.wordpress.com.
Riyadi, Sukarmin. (2008). Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Gangguan Eksokrin Dan Endokrin Pada Fangkreas. Yogyakarta : Graha Ilmu.
Suliswati, dkk. (2009). Konsep Dasar Keperawatan Kesehatan Jiwa, Jakarta: EGC. .
Utama, Hendra. (2007). Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu, Jakarta : FK UI.
Tandra, H. (2007). Segala Sesuatu yang Harus Anda Ketahui tentang Diabetes. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Tucker & Marin,susan. (2008). Standar Perawatan Pasien, Jakarta : EGC
Wiramiharja, Sutardjo, A. (2007). Pengantar Psikologi Abnormal, Bandung : Refika aditama
WHO. (2010). Diabetes. Diakses tanggal 25 april 2012 pukul 14.15 Wib dari : http://www.who.int/facts/world/en/index5.html.


posting 2



Abstrak
Karakteristik berarti hal yang berbeda tentang seseorang, tempat, atau hal yang menggambarkannya. Setiap individu mempunyai ciri dan sifat atau karakteristik bawaan (heredity) yang berbeda-beda dan karakteristik yang diperoleh dari pengaruh lingkungan; karakteristik bawaan merupakan karakteristik keturunan yang dimiliki sejak lahir, baik yang menyangkut faktor biologis maupun faktor sosial psikologis. Karakteristik seseorang sangat mempengaruhi pola kehidupan seseorang, karakteristik bisa dilihat dari beberapa sudat pandang diantaranya umur, jenis kelamin dan tingkat pendidikan seseorang, disamping itu keseriusan seseorang dalam menjaga kesehatannya sangat mempengaruhi kualitas kehidupannya baik dalam beraktivitas, istirahat, ataupun secara psikologis. Kualitas hidup merupakan keadaan dimana seseorang mendapat kepuasaan dan kenikmatan dalam kehidupan sehari-hari. WHO telah merumuskan empat dimensi kualitas hidup yaitu dimensi fisik, dimensi psikologis, dimensi sosial dan dimensi lingkungan. Keempat dimensi tersebut sudah dapat menggambarkan kualitas kehidupan pasien gagal ginjal kronik dengan terapi hemodialisa yang mempunyai agama, etnis dan budaya yang berbeda.
Kata kunci: karakteristik, kualitas hidup, pasien gagal ginjal kronik
1. Pendahuluan
Gagal ginjal kronik sudah merupakan masalah kesehatan masyarakat diseluruh dunia (Perhimpunan Nefrologi Indonesia, 2004). Laporan The United States Renal Date System (USRDS) pada tahun 2007 menunjukkan adanya peningkatan populasi penderita gagal ginjal kronik di Amerika Serikat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, dimana prevalensi penderita gagal ginjal kronik mencapai 1.569 orang per sejuta penduduk (Warlianawati, 2007). Sedangkan jumlah penderita gagal ginjal di Indonesia saat ini terbilang tinggi, mencapai 300.000 orang tetapi belum semua pasien dapat tertangani oleh para tenaga medis, baru sekitar 25.000 orang pasien yang dapat ditangani, artinya ada 80 persen pasien tak tersentuh pengobatan sama sekali (Susalit, 2012). Pengobatan bagi penderita gagal ginjal kronik tahap akhir, dilakukan dengan pemberian terapi dialisis seperti hemodialisa atau transplantasi ginjal yang bertujuan untuk mempertahankan kualitas hidup pasien ((Brunner & Suddarth, 2002).
Kualitas hidup adalah sejauh mana seseorang menikmati kemungkianan penting dalam hidupnya (University of Toronto, 2004). Kualitas hidup pasien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisa masih merupakan masalah yang menarik perhatian para profesional kesehatan. Pasien bisa bertahan hidup dengan menjalani terapi hemodialisa, namun masih menyisakan sejumlah persoalan penting sebagai dampak dari terapi hemodialisa. Mencapai kualitas hidup perlu perubahan secara fundamental atas cara pandang pasien terhadap penyakit gagal ginjal kronis itu sendiri (Togatorop, 2011).
Berdasarkan hasil penelitian Yuliaw (2009), bahwa responden
memiliki karakteristik individu yang baik hal ini bisa dilihat dari usia responden dimana yang menderita penyakit gagal ginjal paling banyak dari kalangan orang tua yaitu sebanyak 26,9 %, dengan jenis kelamin perempuan sebanyak 67,3 % dan tingkat pendidikan SMA sebanyak 44,2 % dam kualitas hidup pasien gagal ginjal kronik masuk dalam katagori tinggi yaitu 67,3 %. Hasil penelitian Yuliaw (2009) menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara karakteristik individu dengan kualitas hidup dimensi fisik pasien gagal ginjal kronik di Rumah Sakit Dr. Kariadi Semarang. Hal ini menunjukkan semakin tinggi karakteristik seseorang maka akan semakin baik pula kualitas hidupnya.
Karakteristik seseorang sangat mempengaruhi pola kehidupan seseorang, karakteristik bisa dilihat dari beberapa sudat pandang diantaranya umur, jenis kelamin dan tingkat pendidikan seseorang, disamping itu keseriusan seseorang dalam menjaga kesehatannya sangat mempengaruhi kualitas kehidupannya baik dalam beraktivitas, istirahat, ataupun secara psikologis. Dan banyak orang yang beranggapan bahwa orang terkena penyakit gagal ginjal akan mengalami penurunan dalam kehidupannya. Hal ini menunjukkan bahwa karakteristik seseorang sangat mempengaruhi kualitas hidup seseorang terutama yang mengidap penyakit gagal ginjal kronik (Yuliaw, 2009).
2. Konsep Karakteristik
Karakter (watak) adalah keseluruhan atau totalitas kemungkinan-kemungkinan bereaksi secara emosional seseorang yang terbentuk selama hidupnya oleh unsur-unsur dari dalam (dasar, keturunan, dan faktor-faktor endogen) dan unsur-unsur dari luar (pendidikan dan pengalaman, serta faktor-faktor eksogen) (Sunaryo, 2004).
Karakteristik berarti hal yang berbeda tentang seseorang, tempat, atau hal yang menggambarkannya. Sesuatu yang membuatnya unik atau berbeda. Karakteristik dalam individu adalah sarana untuk memberitahu satu terpisah dari yang lain, dengan cara bahwa orang tersebut akan dijelaskan dan diakui. Sebuah fitur karakteristik dari orang yang biasanya satu yang berdiri di antara sifat-sifat yang lain (Sunaryo, 2004).
Notoatmodjo (2010) menyebutkan ciri-ciri individu digolongkan kedalam tiga kelompok yaitu:
1. Ciri-ciri demografi, seperti jenis kelamin dan umur
2. Struktur sosial, seperti tingkat pendidikan, pekerjaan, kesukuan atau ras, dan sebagainya.
3. Manfaat-manfaat kesehatan, seperti keyakinan bahwa pelayanan kesehatan dapat menolong proses penyembuhan penyakit.
3. Karakteristik Pasien
Karakteristik pasien meliputi usia, jenis kelamin, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, agama, suku/budaya, dan ekonomi/penghasilan.
Usia
Usia (umur) adalah lama waktu hidup atau ada (sejak dilahirkan atau diadakan). Usia meningkatkan atau menurunkan kerentanan terhadap penyakit tertentu. Pada umumnya kualitas hidup menurun dengan meningkatnya umur. Penderita gagal ginjal kronik usia muda akan mempunyai kualitas hidup yang lebih baik oleh karena biasnya kondisi fisiknya yang lebih baik dibandingkan yang berusia tua. Penderita yang dalam usia produktif merasa terpacu untuk sembuh mengingat dia masih muda mempunyai harapan hidup yang lebih tinggi, sebagai tulang punggung keluarga, sementara yang tua menyerahkan keputusan pada keluarga atau anak-anaknya. Tidak sedikit dari mereka merasa sudah tua, capek hanya menunggu waktu, akibatnya mereka kurang motivasi dalam menjalani terapi hemodialisa. Usia juga erat kaitannya dengan prognose penyakit dan harapan hidup mereka yang
berusia diatas 55 tahun kecenderungan untuk terjadi berbagai komplikasi yang memperberat fungsi ginjal sangat besar bila dibandingkan dengan yang berusia dibawah 40 tahun (Indonesiannursing, 2008).
Jenis kelamin
Sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, manusia dibedakan menurut jenis kelaminnya yaitu pria dan wanita. Istilah gender berasal dari bahasa inggris yang berarti jenis kelamin. Gender adalah pembagain peran kedudukan, dan tugas antara laki-laki dan perempuan yang ditetapkan oleh masyarakat berdasarkan sifat perempuan dan laki-laki yang dianggap pantas sesuai norma-norma dan adat istiadat, kepercayaan, atau kebiasaan masyarakat.
Secara umum, setiap penyakit dapat menyerang manusia baik laki-laki maupun perempuan, tetapi pada beberapa penyakit terdapat perbedaan frekuensi antara laki-laki dan perempuan. Hal ini antara lain disebabkan perbedaan pekerjaan, kebiasaan hidup, genetika atau kondisi fisiologis (Budiarto & Anggraeni, 2002).
Penelitan Yuliaw (2009) menyatakan, bahwa responden memiliki karakteristik individu yang baik hal ini bisa dilihat dari jenis kelamin, bahwa perempuan lebih banyak menderita penyakit gagal ginjal kronik, sedangkan laki-laki lebih rendah dan responden laki-laki mempunyai kualitas hidup lebih jelek dibandingkan perempuan, semakin lama menjalani terapi hemodialisa akan semakin rendah kualitas hidup penderita.
Status Perkawinan
Perkawinan merupakan salah suatu aktivitas individu. Aktivitas individu umumnya akan terkait pada suatu tujuan yang ingin dicapai oleh individu yang bersangkutan, demikian pula dalam hal perkawinan. Karena perkawinan merupakan suatu aktivitas dari satu pasangan, maka sudah selayaknya mereka pun juga mempunyai tujuan tertentu. Tetapi karena perkawinan itu terdiri dari dua individu, maka adanya kemungkinan bahwa tujuan mereka itu tidak sama. Bila hal tersebut terjadi, maka tujuan itu harus dibulatkan agar terdapat suatu kesatuan dalam tujuan tersebut (Tarigan, 2011).
Pendidikan
Pendidikan merupakan bagian integral dalam pembangunan. Proses pendidikan tak dapat dipisahkan dari proses pembangunan itu sendiri. Pembangunan diarahkan dan bertujuan untuk mengembangkan sumber daya manusia yang berkualitas dan pembangunan sektor ekonomi, yang satu dengan lainnya saling berkaitan dan berlangsung dengan berbarengan (Hamalik, 2008).
Yuliaw (2009) dalam penelitiannya mengatakan bahwa, pada penderita yang memiliki pendidikan lebih tinggi akan mempunyai pengetahuan yang lebih luas juga memungkinkan pasien itu dapat mengontrol dirinya dalam mengatasi masalah yang di hadapi, mempunyai rasa percaya diri yang tinggi, berpengalaman, dan mempunyai perkiraan yang tepat bagaimana mengatasi kejadian, mudah mengerti tentang apa yang dianjurkan oleh petugas kesehatan, serta dapat mengurangi kecemasan sehingga dapat membantu individu tersebut dalam membuat keputusan. Hasil penelitian ini didukung dengan teori dimana pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang penting untuk terbentuknya tindakan, perilaku yang didasari pengetahuan akan lebih langgeng dari pada yang tidak didasari pengetahaun (Notoatmodjo, 2005).
Pekerjaan
Pekerjaan adalah merupakan sesuatu kegiatan atau aktifitas seseorang yang bekerja pada orang lain atau instasi, kantor, perusahaan untuk memperoleh penghasilan yaitu upah atau gaji baik berupa uang maupun barang demi memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari (Lase, 2011).
Penghasilan yang rendah akan berhubungan dengan pemanfaatan
pelayanan kesehatan maupun pencegahan. Seseorang kurang memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada mungkin karena tidak mempunyai cukup uang untuk membeli obat atau membayar tranportasi (Notoatmodjo, 2010).
Budiarto dan Anggraeni (2002) mengatakan berbagai jenis pekerjaan akan berpengaruh pada frekuensi dan distribusi penyakit. Hal ini disebabkan sebagaian hidupnya dihabiskan di tempat pekerjaan dengan berbagai suasana lingkungan yang berbeda.
Agama
Agama adalah suatu simbol yang mengakibatkan pandangan yang amat realistis bagi para pemeluknya. Agama memberikan motivasi yang sangat kuat untuk menempatkan kebenaran di atas segalanya. Agama dan kepercayaan spiritual sangat mempengaruhi pandangan klien tentang kesehatan dan penyakitnya, rasa nyeri dan penderitaan, serta kehidupan dan kematian. Sehat spiritual terjadi saat individu menentukan keseimbangan antara nilai-nilai dalam kehidupannya, tujuan, dan kepercayaan dirinya dengan orang lain. Penelitain menunjukkan hubungan antara jiwa, daya pikir, dan tubuh. Kepercayan dan harapan individu mempunyai pengaruh terhadap kesehatan seseorang (Potter & Perry, 2009).
Suku/Budaya
Budiarto dan Anggraeni (2002) mengatakan, klasifikasi penyakit berdasarkan suku sulit dilakukan baik secara praktis maupun secara konseptual, tetapi karena terdapat perbedaan yang besar dalam frekuensi dan beratnya penyakit di antara suku maka dibuat kalsifikasi walaupun terjadi kontroversial. Pada umumnya penyakit yang berhubungan dengan suku berkaitan dengan faktor genetik atau faktor lingkungan.
Ekonomi/penghasilan
individu yang status sosial ekonominya berkecukupan akan mampu menyediakan segala fasilitas yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebaliknya, individu yang status sosial ekonominya rendah akan mengalami kesulitan di dalam memenuhi kebutuhan hidupnya (Sunaryo, 2004).
4. Kualitas Hidup
Menurut WHO kualitas hidup adalah sebagai persepsi individu sebagai laki-laki ataupun perempuan dalam hidup ditinjau dari konteks budaya dan sistem nilai dimana mereka tinggal, hubungan dengan standar hidup, harapan, kesenangan, dan perhatian mereka. Hal ini terangkum secara kompleks mencakup kesehatan fisik, status psikologis, tingkat kebebasan, hubungan sosial, dan hubungan kepada karakteristik lingkungan mereka (WHOQOL, 2004).
Kualitas hidup adalah kondisi dimana pasien kendati penyakit yang dideritanya dapat tetap merasa nyaman secara fisik, psikologis, sosia maupun spiritual serta secara optimal memanfaatkan hidupnya untuk kebahagian dirinya maupun orang lain.
5. Dimensi Kualitas Hidup
Menurut WHOQoL group (The World Health Organization Quality of Life) pada tahun 2004 menyebutkan bahwa kualitas hidup terdiri dari 4 dimensi. Keempat dimensi WHOQoL group meliputi:
1. Kesehatan fisik
Berhubungan dengan kesakitan dan kegelisahan, ketergantungan pada perawatan medis, energi dan kelelahan, mobilitas, tidur dan istirahat, aktifitas kehidupan sehari-hari, dan kapasitas kerja.
2. Kesehatan psikologis
Berhubungan dengan pengaruh positif dan negatif spiritual, pemikiran pembelajaran, daya ingat dan konsentrasi, gambaran tubuh dan penampilan, serta penghargaan terhadap diri sendiri.
3. Hubungan sosial
Terdiri dari hubungan personal, aktivitas seksual, dan hubungan sosial
4. Lingkungan
Terdiri dari keamanan dan kenyamanan fisik, lingkungan fisik, sumber penghasilan, kesempatan memperoleh informasi, keterampilan baru, partisipasi dan kesempatan untuk rekreasi atau aktifitas pada waktu luang.
6. Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Hidup
Desita (2010) menyakatan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas hidup dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama adalah sosio demografi yaitu jenis kelamin, umur, suku/etnik, pendidikan, pekerjaan, dan status perkawinan. Kedua adalah medik yaitu lama manjalani hemodialisa, stadium penyakit, dan penatalaksanaan medis yang dijalani.
Penelitian Yuliaw (2009) menemukan bahwa karakteristik individu yang terdiri dari pendidikan, pengetahuan, umur, dan jenis kelamin merupakan faktor yang mempengaruhi kualitas hidup pasien gagal ginjal kronik. Sedangkan Yuwono (2000) dalam penelitiannya mengatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas hidup pasien gagal ginjal adalah umur, jenis kelamin, etiologi gagal ginjal, cara terapi pengganti, status nutrisi dan kondisi kormorid.
Kesimpulan Dan Saran
Karakteristik berarti hal yang berbeda seseorang, tempat, atau hal yang menggambarkannya. Karakteristik seseorang sangat mempengaruhi pola kehidupan seseorang, karakteristik bisa dilihat dari beberapa sudat pandang diantaranya umur, jenis kelamin dan tingkat pendidikan, pekerjaan, penghasilan dan suku. Kualitas hidup merupakan keadaan dimana seseorang mendapat kepuasaan dan kenikmatan dalam kehidupan sehari-hari. dimensi kualitas hidup terbagi empat bagian yaitu kesehatan fisik, sosial, spritual, dan lingkungan.
Setelah mengetahui hal ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas hidup pasien gagal ginjal kronik.
Daftar Pustaka
Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.
Budiarto & Anggraeni. 2002. Pengantar Epidemiologi, Edisi 2. Jakarta: EGC.
Desita. 2010. Pengaruh Dukungan Keluarga Terhadap Peningkatan Kualitas Hidup Pasien Gagal Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisa di RSUP HAM Medan.
Hamalik, O. 2008. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta. Bumi Aksara.
Indonesiannursing. 2008. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ketidakpatuhan Perawatan Hemodialisis. Diakses dari http://indonesiannursing.com/?=192 tanggal 30 April 2012.
Lase, W. N. (2011). Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Hidup Pasien Gagal Ginjal Kronis yang Menjalani Hemodialisa di RSUP Haji Adam Malik Medan.
Perhimpunan Nefrologi Indonesia. 2003. Penyakit Ginjal Kronik dan Glomerulopati : Aspek Klinik dan Patologi Ginjal Pengelolaan Hipertensi Saat ini. Jakarta.
Potter & Perry. 2009. Fundamental Keperawatan, Edisi 7. Jakarta: Salemba Medika.
Susalit. 2012. Teknik Baru Pengobatan Gagal Ginjal, Edisi Minggu 22 Januari 2012. Koran Jakarta. Di Buka pada Website: http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/81403. Pada tanggal 30 April 2012.
Sunaryo. 2004. Psikologi untuk Keperawatan. Jakarta: EGC.
The Word Health Organization Quality Of Life (WHOQOL)-BREF. Dibuka pada tanggal 29 April 2012.
Togatorop, L. 2011. Hubungan Perawat Pelaksana dengan Kualitas Hidup Pasien Gagal Ginjal Kronis yang Menjalani Terapi Hemodialisa di RSUP Haji Adam Malik Medan.
Universitas Toronto. 2004. QOL Concept. Dibuka pada website http://www.utoronto.ca/qolconceps. Pada tanggal 29 April 2012.
Warlianawati. 2007. Persepsi Pasien Terhadap Peran Perawat dalam Pemenuhan Kebutuhan Spiritual pada Pasien Penyakit Gagal Ginjal Kronik di Unit Hemodialisa di RS. PKU Muhammadiyah Yogyakarta 2007. Di Buka pada Website: http://www.publikasi.umy.ac.id/index.php/PSIK 2007. Pada tanggal 26 April 2012.
Yuliaw, A. 2009. Hubungan Karakteristik Individu dengan Kualitas Hidup Dimensi Fisik pasien Gagal Ginjal Kronik di RS Dr. Kariadi Semarang. Diakses dari digilib.unimus.ac.id/files/disk1/106/jtpunimus-gdl-annyyuliaw-5289-2-bab2.pdf pada tanggal 29 April 2012.
Yuwono. 2010. Kualitas Hidup Menurut Spitzer pada Penderita Gagal Ginjal Terminal yang Menjalani Hemodialisa di Unit Hemodialisis RSUP Dr. Kariadi Semarang. Diakses dari http://www.unimus.ac.id/index.pdf. pada tanggal 29 April 2012.
Notoatmodjo, S. 2005. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
__________. 2010. Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.