Selasa, 17 Desember 2013
Hubungan Diare dengan Status Gizi Balita di Kelurahan Lubuk Buaya Kecamatan Koto Tangah Kota Padang dan Hubungan Depresi dan Sindrom Dispepsia pada Pasien Penderita Keganasan Yang Menjalani
posting 1
Abstrak
Malnutrisi pada anak masih menjadi masalah kesehatan utama di dunia. Data dari WHO pada tahun 2010 menunjukkan sebanyak 18% anak usia di bawah lima tahun di negara berkembang mengalami underweight. Keadaan kurang gizi dapat meningkatkan risiko terkena penyakit infeksi karena daya tahan tubuh yang menurun. Sebaliknya, penyakit infeksi juga dapat memengaruhi status gizi karena asupan makanan menurun, malabsorpsi, dan katabolisme tubuh meningkat. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan apakah terdapat hubungan antara diare dengan status gizi balita. Jenis penelitian ini adalah studi observasional dengan desain cross sectional. Populasi penelitian adalah ibu dan balita usia 12-60 bulan yang bertempat tinggal di Kelurahan Lubuk Buaya. Sampel yang diambil sebanyak 145 orang dengan metode proportionate random sampling. Data dikumpulkan dengan kuesioner untuk mengetahui riwayat diare dalam sebulan terakhir dan penimbangan berat badan. Data diolah dengan uji statistik chi square menggunakan program SPSS 17.0. Hasil analisis univariat menunjukkan terdapat balita berstatus gizi baik (84,1%), status gizi kurang (13,8%), dan status gizi buruk (2,1%). Terdapat 25,5% balita yang pernah mengalami diare dengan rerata durasi diare 3,0 hari. Hasil analisis bivariat menunjukkan tidak terdapat hubungan bermakna antara diare dengan status gizi (BB/U) balita di Kelurahan Lubuk Buaya (p=0,742). Penelitian ini memperlihatkan bahwa tidak terdapat hubungan antara diare dengan status gizi balita di Kelurahan Lubuk Buaya Kecamatan Koto Tangah Kota Padang.
Kata kunci: status gizi balita, diare
Abstract
Malnutrition in children is still a major health problem in the world. Data from WHO in 2010 showed 18% of children under five years old in developing countries are underweight. Malnutrition may increase the risk of infectious disease because the immune system is decreased. Otherwise, infectious disease can also affect the nutritional status because of decreased food intake, malabsorption, and increased body catabolism. This study aimed to determine association between diarrhea and nutritional status of children. The study was an observational study with cross sectional design. The population is mother and children aged 12- 60 months residing in Lubuk Buaya Village. There are 145 samples taken with proportionate random sampling method. Data were collected with questionnaire to determine the history of diarrhea in the last month and weighing. The data were processed with chi square test by using SPSS 17.0 program. Results of univariate analysis showed that there are children with good nutritional status (84,1%), underweight (13,8%), and poor nutritional status (2,1%). There are 25,5% children had diarrhea with average duration of illness 3,0 days. Results of bivariate analysis showed no significant association between diarrhea and nutritional status (weight/age) of children in Lubuk Buaya Village (p = 0,742). This study showed no association between diarrhea and nutritional status of children in Lubuk Buaya Village, Koto Tangah Subdistrict, Padang City.
Keywords: nutritional status of children, diarrhea
Affiliasi penulis : Alania Rosari,
Korespondensi : Fakultas Kedokteran Universitas Andalas, email : alania_dcoins@yahoo.com, Telp: 085263764558
PENDAHULUAN
Gizi merupakan salah satu indikator untuk menilai keberhasilan pembangunan kesehatan sebuah negara dalam membangun sumber daya manusia yang berkualitas.1 Permasalahan gizi yang masih menjadi masalah utama di dunia adalah malnutrisi. Malnutrisi dapat meningkatkan kerentanan anak terhadap penyakit dan mempengaruhi tumbuh kembangnya.2
Pada tahun 2010, sebanyak 103 juta anak berusia di bawah lima tahun di negara berkembang mengalami underweight atau berat badan terlalu rendah.3 Prevalensi balita yang mengalami masalah gizi berdasarkan berat badan per umur (BB/U) di Indonesia pada tahun 2010 meliputi kasus gizi kurang 13,0% dan gizi buruk 4,9%. Prevalensi di Sumatera Barat menunjukkan kasus gizi kurang 14,4% dan gizi buruk 2,8%.4 Data tersebut memperlihatkan bahwa jumlah balita dengan status gizi kurang di Sumatera Barat masih tinggi di atas persentase rata-rata Indonesia. Berdasarkan hasil pemantauan status gizi Dinas Kesehatan Kota Padang pada tahun 2011, didapatkan prevalensi balita gizi kurang dengan indikator BB/U sebesar 10,6% dan balita gizi buruk 1,7%.5
Status gizi anak dipengaruhi oleh banyak faktor. Tiga faktor utama yang mempengaruhi status gizi anak yaitu aspek konsumsi, kesehatan anak, dan pengasuhan psikososial.6
Diare adalah suatu keadaan yang ditandai dengan bertambahnya frekuensi defekasi lebih dari tiga kali sehari yang disertai dengan perubahan konsistensi tinja menjadi lebih cair, dengan/tanpa darah dan dengan/tanpa lendir.7 Diare menjadi penyebab kematian terbanyak nomor dua pada anak berusia di bawah lima tahun dengan 1,5 juta anak meninggal tiap tahunnya. Diare juga merupakan penyebab utama kejadian malnutrisi pada anak berusia di bawah lima tahun.8
Prevalensi diare pada kelompok umur 1 - 4 tahun di Indonesia sebanyak 16,7% dan merupakan prevalensi terbanyak dibandingkan kelompok umur lainnya. Data yang dilaporkan dalam Riskesdas 2007 menunjukkan diare sudah menjadi penyebab kematian terbanyak pada balita di Indonesia dengan persentase 25,2%.9
Artikel Penelitian
http://jurnal.fk.unand.ac.id 112
Jurnal Kesehatan Andalas. 2013; 2(3)
Prevalensi diare di Indonesia sebanyak 9% dan Sumatera Barat termasuk dalam salah satu provinsi dengan prevalensi diare klinis di atas rata-rata yaitu 9,2%.9 Di Kota Padang, diare masih termasuk ke dalam 10 penyakit terbanyak yang diderita masyarakat. Kelompok umur terbanyak adalah anak berusia di bawah lima tahun (45,8%).10 Berdasarkan data diare Kota Padang Tahun 2011, terdapat 11.653 kasus diare dengan jumlah kasus pada balita sebanyak 4755 kasus (40,8%).11
Penelitian yang dilakukan oleh Scrimshaw, Taylor, dan Gordon (1968) memperlihatkan bahwa terdapat hubungan timbal balik antara diare dan malnutrisi. Diare dapat menimbulkan terjadinya malnutrisi dan sebaliknya, malnutrisi juga bisa menjadi penyebab timbulnya diare. Infeksi mempengaruhi status gizi melalui penurunan asupan makanan, penurunan absorpsi makanan di usus, meningkatkan katabolisme, dan mengambil nutrisi yang diperlukan tubuh untuk sintesis jaringan dan pertumbuhan. Di samping itu, malnutrisi bisa menjadi faktor predisposisi terjadinya infeksi karena menurunkan pertahanan tubuh dan mengganggu fungsi kekebalan tubuh manusia.12
Data dari Dinas Kesehatan Kota Padang Tahun 2011 menunjukkan bahwa kasus diare tertinggi di Kota Padang terdapat di Puskesmas Lubuk Buaya (12,3%). Jumlah kasus diare pada balita di Puskesmas Lubuk Buaya sebanyak 493 kasus (34,3%). Berdasarkan data kasus diare perkelurahan tahun 2011 di wilayah kerja Puskesmas Lubuk Buaya, kasus diare terbanyak ditemukan di Kelurahan Lubuk Buaya dengan 470 kasus (31,5%). Data dari hasil pemantauan status gizi Dinas Kesehatan Kota Padang Tahun 2011 di Puskesmas Lubuk Buaya memperlihatkan persentase balita dengan status gizi kurang sebanyak 10,02%. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat hubungan antara diare dengan status gizi balita di Kelurahan Lubuk Buaya Kecamatan Koto Tangah Kota Padang.
METODE
Jenis penelitian adalah studi observasional dengan desain cross sectional. Populasi penelitian adalah balita usia 12-60 bulan di Kelurahan Lubuk Buaya, Kecamatan Koto Tangah, Kota Padang. Sampel berjumlah 145 orang yang diambil berdasarkan metode proportionate random sampling pada 21 RW. Kriteria inklusi sampel adalah ibu dan balita berusia 12-60 bulan, bertempat tinggal di Kelurahan Lubuk Buaya, bersedia ikut dalam penelitian dengan menandatangani informed consent, dan ibu yang mampu berkomunikasi dengan baik. Kriteria eksklusi antara lain anak dengan cacat fisik (hidrosefalus, cerebral palsy, dan amputasi anggota gerak) dan anak yang mengalami sakit berat dalam sebulan terakhir, kecuali diare berat. Penelitian dilaksanakan dari bulan Maret 2012 sampai Maret 2013.
Variabel dependen penelitian adalah status gizi yang dinyatakan dengan variabel BB/U. Alat yang digunakan untuk menimbang berat badan anak yaitu timbangan injak merk Smic dengan kapasitas 150 kg dan ketelitian 0,1 kg dan hasilnya dikonversikan ke dalam bentuk nilai terstandar (Z-score) dengan menggunakan baku antropometri balita WHO 2005. Hasil ukurnya yaitu (1) Gizi baik (gizi baik: Z-score ≥ -2,0 s/d Z-score ≤2,0; gizi lebih: Z-score >2,0) dan (2) Gizi kurang (gizi kurang: Z-score ≥ -3,0 s/d Z-score <-2,0; gizi buruk: Z-score <-3,0). Variabel independen adalah riwayat diare, yaitu bertambahnya frekuensi defekasi lebih dari tiga kali sehari yang disertai dengan perubahan konsistensi tinja menjadi lebih cair, dengan/tanpa darah dan lendir dalam sebulan terakhir. Data didapatkan melalui wawancara langsung dengan hasil ukur pernah menderita diare atau tidak pernah menderita diare dalam sebulan terakhir.
Langkah-langkah pengolahan data yang dilakukan yaitu memeriksa kelengkapan data dari kuesioner, memberikan kode pada setiap data variabel yang telah terkumpul, memasukkan data ke dalam komputer dengan program Microsoft Excell dan Statistical Program for Social Science (SPSS) 17.0, dan memeriksa kembali data yang telah dimasukkan untuk memastikan bahwa data tersebut telah bersih dari kesalahan. Analisis data terdiri dari analisis univariat dan bivariat. Analisis bivariat digunakan untuk mengetahui hubungan antara dua variabel yaitu diare dengan status gizi menggunakan uji chi square dengan derajat kemaknaan p<0,05.
HASIL
1. Karakteristik Responden Ibu
Lebih dari setengah responden ibu berada dalam kelompok umur 30-39 tahun (51,7%) dengan rerata umur 33,1 tahun (SD ± 5,9). Sebagian besar ibu memiliki tingkat pendidikan baik dengan menyelesaikan pendidikan SLTA/sederajat (53,1%) dan tamat akademi/perguruan tinggi (24,1%). Sebanyak 83,4% ibu adalah ibu rumah tangga. Persentase jumlah anak dalam keluarga yang paling banyak adalah 2 orang (32,4%).
2. Karakteristik Responden Balita
Jenis kelamin perempuan ditemukan sebanyak 54,5% dan laki-laki 45,5%. Sebagian besar balita lahir dengan berat badan normal (97,9%) dan ditemukan kasus BBLR sebanyak 2,1%. Sebanyak 62,8% balita diberikan ASI eksklusif selama 6 bulan oleh ibunya. Ketersediaan jamban sudah baik karena hampir seluruh responden memiliki jamban keluarga di rumahnya (99,3%).
3. Status Gizi Balita
Tabel 1. Distribusi Balita Berdasarkan Status
Gizi BB/U di Kelurahan Lubuk Buaya
Status Gizi
Frekuensi
Persentase (%)
Gizi Baik
122
84,1
Gizi Kurang
20
13,8
Gizi Buruk
3
2,1
Jumlah
145
100
X¯ Z-Score = -1,1 (SD ± 0,9)
http://jurnal.fk.unand.ac.id 113
Jurnal Kesehatan Andalas. 2013; 2(3)
3. Riwayat Diare
Tabel 2. Distribusi Riwayat Diare Balita dalam Sebulan Terakhir di Kelurahan Lubuk Buaya
Diare
Frekuensi
Persentase (%)
Ya
37
25,5
Tidak
108
74,5
Jumlah
145
100
X¯ frekuensi = 1,0 kali (SD ± 0,0)
X¯ durasi = 3,0 hari (SD ± 2,0)
Tabel 3. Distribusi Balita Diare Berdasarkan Terjadinya Demam
Demam
Frekuensi
Persentase (%)
Ya
26
70,3
Tidak
11
29,7
Jumlah
37
100
Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa sebagian besar balita mengalami demam saat diare.
Tabel 4. Distribusi Balita Diare Berdasarkan Terjadinya Penurunan Nafsu Makan
Nafsu Makan
Frekuensi
Persentase (%)
Turun
30
81,1
Tidak turun
7
18,9
Jumlah
37
100
Berdasarkan Tabel 4 dapat dilihat bahwa sebagian besar balita mengalami penurunan nafsu makan saat diare.
Tabel 5. Distribusi Balita Diare Berdasarkan Tindakan Perawatan yang Diberikan Saat Sakit
Tindakan Perawatan
Frekuensi
Persentase (%)
Bidan/Dokter
28
75,7
Oralit
2
5,4
Dibiarkan saja
3
8,1
Obat tradisional
3
8,1
Obat dari apotek
1
2,7
Jumlah
37
100
Berdasarkan Tabel 5 dapat dilihat bahwa sebagian besar balita dibawa oleh ibunya ke bidan/dokter untuk mendapatkan perawatan ketika menderita diare.
4. Analisis Bivariat
Tabel 6. Hubungan Diare dengan Status Gizi Balita di Kelurahan Lubuk Buaya
Status Gizi
Diare
Jumlah
p value
Ya
Tidak
f
%
f
%
f
%
Gizi Baik
30
81,1
92
85,2
122
84,1
0,742
Gizi Kurang
7
18,9
16
14,8
23
15,9
Jumlah
37
100
108
100
145
100
x2 = 0,348; p = 0,742
Berdasarkan Tabel 6 dapat dilihat bahwa balita yang mengalami status gizi kurang lebih banyak terjadi pada balita diare dibandingkan dengan balita tidak diare. Namun, perbedaan tersebut secara statistik tidak bermakna (p 0,05).
PEMBAHASAN
1. Status Gizi Balita
Sebagian besar balita memiliki status gizi baik (84,1%) dan masih ditemukan balita gizi kurang sebanyak 13,8% serta gizi buruk 2,1%. Hasil tersebut menunjukkan bahwa persentase balita gizi kurang di Kelurahan Lubuk Buaya masih tinggi bila dibandingkan dengan persentase di Puskesmas Lubuk Buaya (10,0%), di Kota Padang (12,4%), dan di Indonesia (13,0%). Namun, masih lebih rendah dibandingkan dengan persentase di Sumatera Barat (14,4%). Angka kejadian gizi buruk lebih rendah dibandingkan prevalensi di Sumatera Barat (2,8%) dan di Indonesia (4,9%).4,5 Keadaan gizi kurang dapat disebabkan kurangnya asupan makanan, terkena infeksi, serta pola pengasuhan yang tidak baik terutama pola asuh makan.13
2. Diare pada Balita
Kejadian diare pada balita di Kelurahan Lubuk Buaya sebanyak 25,5%. Angka kejadiannya masih tinggi jika dibandingkan dengan prevalensi diare di Indonesia (16,7%) dan di negara berkembang lainnya seperti bagian rural Bangladesh (7,6%).9,14
Menurut Santoso dan Ranti (1995), anak balita lebih rentan menderita penyakit infeksi karena sudah mulai bergerak aktif untuk bermain, sehingga sangat mudah terkontaminasi oleh kotoran.15 Pudjiadi (2000) juga menjelaskan bahwa anak usia 2-5 tahun sudah mulai memiliki kebiasaan membeli makanan jajanan yang belum tentu terjaga kebersihannya, baik dalam pengolahan maupun penyajiannya, sehingga sangat mudah terkontaminasi oleh kuman yang bisa menyebabkan diare.16
Sebagian besar anak yang menderita diare mengalami demam (70,3%) dan penurunan nafsu makan (81,1%). Demam timbul sebagai respon tubuh saat terjadinya proses inflamasi akibat infeksi dan penurunan nafsu makan atau
http://jurnal.fk.unand.ac.id 114
Jurnal Kesehatan Andalas. 2013; 2(3)
asupan makanan terjadi sejalan dengan tingkat keparahan infeksi. Semakin parah infeksi yang terjadi maka penurunan asupan makanan akan semakin besar.17
3. Hubungan Diare dengan Status Gizi Balita
Balita yang mengalami status gizi kurang lebih banyak terjadi pada balita diare (18,9%) dibandingkan dengan balita tidak diare (14,8%). Namun, hasil analisis secara statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kejadian diare dalam sebulan terakhir dengan status gizi balita di Kelurahan Lubuk Buaya (p >0,05).
Penelitian lain yang dilakukan oleh Indriyasti di Puskesmas Karawaci Baru Kota Tangerang juga memperlihatkan hasil yang sama dengan peneliti yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara kejadian penyakit diare dengan status gizi balita.18 Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Martianto dkk pada balita di Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur yang mendapatkan hubungan signifikan antara keberadaan penyakit infeksi dengan status gizi anak.6
Rerata frekuensi diare pada balita adalah 1 kali dalam sebulan terakhir dan rerata durasi diare adalah 3,0 hari (SD±2,0). Penelitian Nurcahyo dkk pada balita usia 12-59 bulan di Kabupaten Bogor menunjukkan bahwa semakin sering frekuensi diare maka status gizi balita menurut BB/U akan semakin buruk.19 Demikian pula dengan penelitian yang dilakukan oleh Fatimah yang memperlihatkan bahwa semua anak dengan gizi kurang memiliki riwayat penyakit infeksi seperti diare berulang, ISPA berulang, dan tuberkulosis.20
Penelitian yang dilakukan oleh Rusmiati di RSU Dr.Tengku Mansyur Tanjungbalai Medan mendapatkan adanya hubungan antara lamanya kejadian diare dengan status gizi balita menurut BB/U.21 Sebagian besar ibu juga melakukan tindakan yang cepat dalam menanggulangi diare dengan membawa berobat ke tempat pelayanan kesehatan seperti bidan/dokter (75,7%) dan memberikan oralit/cairan rumah tangga (5,4%). Tindakan tersebut akan memperkecil terjadinya gangguan keseimbangan elektrolit pada anak karena prinsip utama dalam pengobatan diare akut adalah rehidrasi.22 Frekuensi diare yang jarang, durasi diare singkat, serta pemberian tindakan penanggulangan yang tepat menyebabkan diare yang terjadi tidak mempengaruhi status gizi balita secara bermakna.
Berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa kejadian balita gizi kurang di Kelurahan Lubuk Buaya cukup tinggi dan masih ditemukan kejadian balita gizi buruk. Kasus diare pada balita juga masih tinggi dan dari hasil uji statistik tidak terdapat hubungan yang bermakna antara diare dengan status gizi balita usia 12-60 bulan di Kelurahan Lubuk Buaya.
Daftar Pustaka
1. Departemen Kesehatan RI. Rencana pembangunan jangka panjang bidang kesehatan 2005-2025. Jakarta: 2009.
2. Katz R, Manikam R, Schuberth L. Pediatric and adolescent disorders. Dalam: Shils ME, Shike M, Ross AC, Caballero B, Cousins RJ (editor). Modern nutrition in health and disease. Edisi ke-
10. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2006. hlm. 876-80.
3. World Health Organization. Underweight in children. 2010 (diunduh 18 Maret 2012). Tersedia dari: http://www.who.int/gho/mdg/poverty_hunger/underweight_text/en/ index.html.
4. Riskesdas. Riset kesehatan dasar 2010. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI; 2010. hlm. 52.
5. Dinas Kesehatan Kota Padang. Pemantauan status gizi dinas kesehatan kota Padang tahun 2011. Padang: 2011.
6. Martianto D, Riyadi H, Hastuti D, Alfiasari, Briawan D. Penilaian situasi pangan dan gizi di kabupaten Lembata, provinsi NTT. Departemen Gizi dan Masyarakat: Institut Pertanian Bogor; 2006.
7. Suraatmaja S. Kapita selekta gastroenterologi anak. Jakarta: Sagung Seto; 2007. hlm. 1-22.
8. World Health Organization. Diarrhoeal disease. 2009 (diunduh 27 Maret 2012). Tersedia dari: http://www.who.intmediacentre/factsheets/fs330/en/index.html.
9. Riskesdas. Riset kesehatan dasar 2007. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI; 2007. hlm. 154; 325.
10. Dinas Kesehatan Kota Padang. Laporan tahunan tahun 2010 edisi 2011. Padang: 2011.
11. Dinas Kesehatan Kota Padang. Data diare kota Padang tahun 2011. Padang: 2012.
12. Brown KH. Diarrhea and malnutrition. J. Nutr. 2003; 133:328S-32S.
13. Supriatin A. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuh makan dan hubungannya dengan status gizi balita (skripsi). Bogor: Institut Pertanian Bogor; 2004.
14. Nutritional Surveillance Project. Nutrition and health surveillance in barisal division. Bangladesh: Helen Keller Worldwide; 2002.
15. Emiralda. Pengaruh pola asuh anak terhadap terjadinya balita malnutrisi di wilayah kerja puskesmas Montasik kecamatan Montasik kabupaten Aceh Besar tahun 2006 (tesis). Medan: Universitas Sumatera Utara; 2007.
16. Palupi A, Hadi H, Soenarto SS. Status gizi dan hubungannya dengan kejadian diare pada anak diare akut di ruang rawat inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Jurnal Gizi Klinik Indonesia. 2009;6(Pt 1): 1-7.
17. Scrimshaw NS. Historical concepts of interactions, synergism and antagonism between nutrition and infection. J. Nutr. 2003;133:316S-21S.
18. Indriyasti, S. Hubungan kejadian penyakit diare terhadap status gizi balita di puskesmas Karawaci Baru kota Tangerang (skripsi). Jakarta: Universitas Indonusa Esa Unggul; 2007.
19. Nurcahyo K, Briawan D. Konsumsi pangan, penyakit infeksi, dan status gizi anak balita pasca perawatan gizi buruk. Jurnal Gizi dan Pangan. 2010;5(Pt 3): 164-70.
20. Fatimah S, Nurhidayah I, Rakhmawati W. Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap status gizi pada balita di kecamatan Ciawi kabupaten Tasikmalaya (laporan akhir penelitian peneliti muda). Bandung: Universitas Padjadjaran; 2008.
21. Rusmiati. 2008. Gambaran pola konsumsi pangan dan status gizi anak balita penderita diare di ruang anak RSU Dr. Tengku Mansyur
http://jurnal.fk.unand.ac.id 115
Jurnal Kesehatan Andalas. 2013; 2(3)
Tanjungbalai tahun 2008 (skripsi). Medan: Universitas Sumatera Utara; 2008.
22. Petri WA, Miller M, Binder HJ, Levine MM, Dillingham R, Guerrant LR. Enteric infections, diarrhea, and their impact on function and development. J. Clin. Invest. 2008;118(Pt 4): 1277-90
posting 2
Abstrak
Gangguan psikologi dan sindrom dispepsia (seperti mual dan muntah) merupakan hal yang sering terjadi pada pasien kanker yang menjalani kemoterapi. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan depresi dengan sindrom dispepsia yang terjadi pada pasien keganasan yang menjalani kemoterapi. Metode penelitian ini menggunakan rancangan cross sectional dengan menggunakan kuisioner. Didapatkan pasien sebanyak 56 pasien keganasan yang menjalani kemoterapi di bangsal Penyakit Dalam, Bedah dan Obstetri & Ginekologi RSUP Dr. M. Djamil Padang selama 3 bulan (Desember 2012-Februari 2013). Depresi dinilai dengan wawancara menggunakan kuisioner BDI (Beck Depression Inventory) II. Dispepsia dinilai dengan menggunakan kuisioner pedoman skor dispepsia. Data dianalisis dengan SPSS 17 menggunakan analisis korelasi bivariat Spearman. Koefisien korelasi untuk depresi dan sindrom dispepsia adalah 0,387. Kesimpulan akhir dari penelitian ini adalah ada hubungan yang cukup dan searah (p<0,01) antara depresi dan sindrom dispepsia yang terjadi pada pasien keganasan yang menjalani kemoterapi.
Kata kunci: kanker, kemoterapi, depresi, sindrom dispepsia
Abstract
Psychological disorders and dyspepsia syndromes (such as nausea and vomiting) is a common thing in cancer patients undergoing chemotherapy. This study aims to examine the relationship of depression with dyspepsia syndrome that occurs in patients with malignancies who are undergoing chemotherapy. Methods this study uses cross-sectional design using questionnaires. Obtained for 56 patients who underwent chemotherapy malignancy patients in wards Internal Medicine, Surgery and Obstetrics & Gynecology in Hospital Dr. M. Djamil Padang for 3 months (December 2012-February 2013). Depression was assessed by interview using a questionnaire BDI (Beck Depression Inventory) II. Dyspepsia assessed using questionnaires guidelines dyspepsia score. Data were analyzed with SPSS 17 using bivariate Spearman correlation analysis. The correlation coefficients for depression and dyspepsia syndrome was 0.387. The final conclusion of this study is that there are sufficient and direct relationship (p <0.01) between depression and dyspepsia syndrome that occurs in patients with malignancies who are undergoing chemotherapy.
Keywords: cancer, chemotherapy, depression, dyspepsia syndrome
Affiliasi penulis : 1Mahasiswa S2 Farmasi Klinis Unand, 2Fakultas Farmasi Unand, 3Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK Unand
Korespondensi :Program Pascasarjana Fakultas Farmasi, Universitas Andalas. Email: 1monagerlonso@yahoo.com
Telp: 085263806220
PENDAHULUAN Kanker merupakan istilah umum untuk kelompok besar penyakit yang dapat mempengaruhi setiap bagian dari tubuh. Istilah lain yang digunakan adalah tumor ganas dan neoplasma.1 Di seluruh dunia, angka kejadian kanker meningkat dengan pesat sehingga merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas. Diperkirakan 500.000 orang yang tidak diklasifikasikan menurut usia dan jenis kelamin, telah meninggal setiap tahun karena kanker di Amerika Serikat.2
Penyakit keganasan (kanker) dan pemberian kemoterapi dapat berpengaruh terhadap fisik maupun emosional pada pasien.3 Gangguan pikiran (emosional) merupakan salah satu penyebab terjadinya keluhan dispepsia.4 Selain itu, masalah yang sering muncul pada pasien kemoterapi adalah efek samping yang timbul akibat obat-obatan kemoterapi. Efek samping yang sering terjadi pada pasien kemoterapi adalah mual, muntah, dan rasa tidak enak pada perut bagian atas (sindrom dispepsia) yang terjadi pada pasien setelah diberikan kemoterapi.5
Efek kemoterapi pada pasien dapat mempengaruhi secara biologis, fisik, psikologis, dan sosial. Efek kemoterapi sangat beragam tergantung kepada obat yang diberikan.6 Efek samping yang berat sering timbul pada pasien pasca kemoterapi dan sering kali tidak dapat ditoleransi oleh pasien, bahkan menimbulkan kematian. Frekuensi efek samping paling besar adalah gangguan mual dan muntah. Mual dan muntah dapat memberikan efek samping pada kualitas hidup pasien dimana mereka akan mengalami kesulitan dalam menjalankan aktivitas sehari-seharinya.5 Walaupun banyak antinausea dan antivomiting yang telah digunakan dalam pengobatan, efek mual dan muntah yang disebabkan oleh kemoterapi masih merupakan penyebab terbesar terhadap perubahan kualitas hidup pasien kanker. Dan juga pengobatan dengan antinausea dan antivomiting memiliki efek yang terbatas dalam hal mengurangi gejala mual dan muntah yang tertunda daripada mual dan muntah akut.7
Suatu penelitian meta-analisis di Amerika menyatakan bahwa sekitar 50% pasien dengan kanker stadium lanjut memenuhi kriteria untuk gangguan
Artikel Penelitian
http://jurnal.fk.unand.ac.id 138
Jurnal Kesehatan Andalas. 2013; 2(3)
psikiatri, yang paling umum adalah gangguan
penyesuaian (11-35%) dan depresi berat (5-26%)8.
Depresi merupakan gejala umum pada pasien kanker
yang sulit dideteksi, sehingga konsekuensinya perlu
untuk dirawat. Hal ini memburuk selama dalam
pengobatan kanker, berlanjut lama setelah akhir terapi
dan berpengaruh negatif terhadap kualitas hidup.
Pasien kanker yang menjalani kemoterapi biasanya
mengalami berbagai gejala sebagai akibat dari
penyakit atau dari kemoterapi itu sendiri. Gejala ini
mempengaruhi pasien, baik secara fisik maupun
emosional dan lebih jauh lagi memberikan pengaruh
negatif terhadap pengobatan, prognosis penyakit dan
kualitas hidup pasien.2 Morrel (1991) menyimpulkan
dispepsia merupakan keluhan yang berarti dari
pasien-pasien dengan adanya gangguan psikiatri,
terutama ansietas, depresi atau ciri kepribadian.9
Berdasarkan hal tersebut maka dilakukan
penelitian untuk mengetahui hubungan faktor depresi
dan sindrom dispepsia pada pasien penderita penyakit
keganasan yang menjalani kemoterapi di RSUP DR.
M.Djamil Padang serta meningkatkan peran farmasis
dalam pelayanan kefarmasian yaitu dengan
mengetahui efek samping khususnya sindrom
dispepsia yang mungkin terjadi pada pasien dalam
menjalani kemoterapi sehingga dapat tercapai kualitas
hidup pasien yang lebih baik.
METODE
Penelitian dilaksanakan selama 3 bulan
(Desember 2012 - Februari 2013) di RSUP dr.
M.Djamil Padang di tiga SMF yaitu Bedah, Penyakit
Dalam dan Obstetri & Ginekologi. Metode penelitian
yang digunakan adalah rancangan cross sectional.
Studi cross sectional ini sering juga disebut
sebagai studi prevalensi atau survei. Studi cross
sectional mengukur variabel dependen dan
independen secara bersamaan10. Pada penelitian ini
variabel independennya adalah pasien keganasan
yang menjalani kemoterapi sedangkan variabel
dependennya adalah depresi dan sindrom dispepsia.
Populasi pada penelitian ini adalah semua pasien
keganasan di RSUP dr. M.Djamil Padang. Subjek
penelitian yang dipilih adalah semua populasi yang
memenuhi kriteria inklusi dan kriteria eksklusi.Kriteria
inklusi subjek adalah: pasien keganasan dengan usia
≥ 18 tahun dan sudah pernah menjalani kemoterapi
satu siklus (kemoterapi ke-2 dan seterusnya), memiliki
kemampuan untuk mengisi kuisioner. Kriteria eklusi
subjek adalah: pasien yang baru pertama kali
menjalani kemoterapi (siklus kemoterapi ke-1), pasien
yang menderita psikotik, pasien yang mengalami
penurunan kesadaran. Selama 3 bulan penelitian,
didapatkan subjek sebanyak 56 pasien.
Data diperoleh dari wawancara pasien dan
kuisioner. Lembar pengumpul data meliputi : Kuisioner
untuk mengukur depresi atau tidaknya pasien.
Kuisioner yang digunakan adalah BDI II (Beck
Depression Inventory II) versi Bahasa Indonesia. BDI
II telah divalidasi sebagai alat pengukur depresi yang
sensitif, spesifik dan prediktif.11 Kuisioner pedoman
skor dispepsia. Skor dispepsia adalah skor untuk
menentukan derajat berat ringannya dispepsia. Yang
dinilai adalah anoreksia, nausea, rasa cepat kenyang,
kembung, muntah dan nyeri perut.12
Data dianalisis dengan menggunakan SPSS 17
dengan menggunakan korelasi bivariat Spearman. Uji
korelasi bivariat Spearman digunakan untuk mengukur
kuat lemahnya hubungan antara dua variabel yaitu
variabel derajat depresi dengan variabel derajat
sindrom dispepsia pasien keganasan yang menjalani
kemoterapi. Korelasi dapat menghasilkan angka positif
(+) dan negatif (-). Positif menunjukkan kedua variabel
bersifat searah sedangkan negatif menunjukkan kedua
variabel bersifat tidak searah. Angka korelasi berkisar
antara 0 s/d 1. Dengan ketentuan jika angka
mendekati 1, hubungan variabel semakin kuat, dan
jika angka korelasi mendekati 0, hubungan korelasi
semakin lemah.13
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari penelitian yang telah dilakukan selama 3
bulan (Desember 2012 sampai Februari 2013) di
RSUP dr. M. Djamil Padang didapatkan pasien
keganasan yang menjalani kemoterapi sebanyak 56
orang. Karakteristik pasien dan parameter dapat dilihat
pada tabel berikut.
Tabel 1. Data distribusi pasien keganasan yang
menjalani kemoterapi berdasarkan jenis kelamin
Jenis Kelamin
Jumlah
(n = 56)
Persentase
(%)
- Laki-laki
- Perempuan
3
53
5,4%
94,6%
Dari penelitian selama 3 bulan didapatkan
distribusi pasien laki-laki sebanyak 3 orang (5,4%) dan
pasien perempuan sebanyak 53 orang (94,6%). Dari
data ini dapat diketahui, pasien keganasan paling
banyak diderita oleh pasien perempuan.
Tabel 2. Data distribusi umur pasien keganasan yang
menjalani kemoterapi
Umur Jumlah
(n = 56)
Persentase
(%)
- < 20 tahun
- 20-29 tahun
- 30-39 tahun
- 40-49 tahun
- 50-59 tahun
- 60-69 tahun
- 70-79 tahun
Mean SD
Mode
Min s/d Maks
1
4
10
20
16
3
2
45,9±11,8
48 dan 52
18 s.d 72
1,8%
7,1%
17,9%
35,7%
28,6%
5,4%
3,6%
Dari tabel distribusi umur pasien keganasan,
diketahui rata-rata pasien keganasan dalam penelitian
ini adalah pada kelompok umur 40-49 tahun, dan
kelompok umur yang paling banyak adalah pada umur
48 dan 52 tahun (35,7%).
Tabel 3. Distribusi derajat depresi pada pasien
keganasan yang menjalani kemoterapi
Derajat Depresi
Jumlah
(n = 56)
Persentase
(%)
- Depresi minimal
- Depresi ringan
- Depresi sedang
- Depresi berat
29
21
6
0
51,8%
37,5%
10,7%
0%
http://jurnal.fk.unand.ac.id 139
Jurnal Kesehatan Andalas. 2013; 2(3)
Dari data distribusi derajat depresi pasien keganasan yang menjalani kemoterapi yang dinilai dengan kuisioner BDI II, didapatkan pasien yang mengalami depresi minimal sebanyak 29 orang (51,8%), depresi ringan sebanyak 21 orang (37,5%), depresi sedang ada 6 orang (10,7%), dan tidak didapatkan pasien dengan derajat depresi berat.
Tabel 4. Distribusi derajat dispepsia pada pasien keganasan yang menjalani kemoterapi
Derajat Dispepsia
Jumlah (n = 56)
Persentase (%)
- Tidak ada keluhan
- Ringan
- Sedang
- Berat
10
31
14
1
17,9%
55,4%
25%
1,8%
Dari data distribusi derajat dispepsia pada pasien keganasan yang menjalani kemoterapi diketahui pasien paling banyak mengalami dispepsia ringan yaitu 31 orang (55,4%), diikuti dengan dispepsia sedang sebanyak 14 orang (25%), tidak ada keluhan sebanyak 10 orang (17,9%) dan dengan keluhan dispepsia berat ada 1 orang (1,8%).
Tabel 5. Hubungan derajat dispepsia dengan derajat depresi menggunakan korelasi bivariant Spearman
Derajat depresi
Derajat dispepsia
Correlation Coefficient
.387**
Sig. (2-tailed)
.003
N
56
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Dalam penelitian ini akan dikaji bagaimana hubungan (korelasi) faktor depresi dengan sindrom dispepsia yang dialami pasien kanker yang menjalani kemoterapi. Analisis dilakukan dengan uji korelasi bivariat Spearman. Hasil pengujian SPSS 17 yang menggunakan korelasi Spearman didapatkan koefisien korelasi Spearman 0,387. Nilai ini menunjukkan korelasi cukup dan bermakna secara statistik (p < 0,01) antara dispepsia yang terjadi pada pasien kemoterapi dengan depresi. Nilai korelasi yang positif menunjukkan adanya hubungan yang searah antara terjadinya dispepsia dan depresi pasien kemoterapi.
Penelitian lain yang mendukung penelitian ini seperti yang diteliti Johnsen R dan kawan kawan (1998) mengatakan pada kejadian dispepsia non ulkus dan fungsional menunjukkan hubungan dengan faktor psikologi dan kondisi-kondisi sosial. Demikian juga Haug TT dan kawan kawan (1995) yang menemukan pasien pasien dengan dispepsia fungsional mempunyai tingkat yang lebih tinggi kecemasannya, psikopatologi, depresi dan keluhan somatik.14
Dalam penelitian lain mengenai korelasi skor dispepsia dan skor kecemasan di RSUD Prof. DR. Margono Soekarjo Purwokerto mendapatkan adanya korelasi antara skor dispepsia dan skor kecemasan dengan nilai koefisien Spearman 0,775, yang berarti bahwa kekuatan korelasi antara kedua variabel tersebut kuat.15 Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Chen et al (2006) pada pasien dispepsia fungsional di Taipei Veterans General Hospital yang mengemukakan bahwa kecemasan secara signifikan berpengaruh terhadap pasien dengan dispepsia fungsional. Semakin tinggi tingkat kecemasan seseorang maka semakin tinggi pula tingkat keparahan dispepsia fungsionalnya, dan hal ini berlaku sama baik untuk laki-laki maupun perempuan. Henningsen et al (2003) membenarkan hubungan yang sangat signifikan antara dispepsia fungsional dan irritable bowel syndrome (IBS) dengan kecemasan dan depresi.16
Murni (2011) dalam penelitiannya terhadap level kortisol serum pada pasien dispepsia dengan gangguan psikosomatis mendapatkan hasil bahwa penderita sindrom dispepsia dengan gangguan psikosomatik terutama depresi terdapat peningkatan nilai kortisol serum pada pagi hari bermakna secara statistik (p< 0,05) dibandingkan dengan kelompok kontrol (tidak mengalami gangguan psikosomatik).17 Interaksi faktor psikis dengan gangguan saluran cerna diyakini melalui mekanisme brain – gut – axis. Adanya stimulasi atau stresor psikis mempengaruhi keseimbangan sistem syaraf otonom, mempengaruhi fungsi hormonal, serta sistem imun (psiko – neuro- imun - endokrin). Jalur tersebut secara langsung atau tidak langsung, terpisah atau bersamaan dapat mempengaruhi saluran cerna, mempengaruhi sekresi, motilitas, vaskularisasi dan menurunkan ambang rasa nyeri.18
Gangguan sekresi pada lambung dapat terjadi karena gangguan jalur endokrin melalui poros hipotalamus – pituitary – adrenal (HPA axis). Pada keadaan ini terjadi peningkatan kortisol dari korteks adrenal akibat rangsangan dari korteks serebri diteruskan ke hipofisis anterior sehingga terjadi pengeluaran hormon kortikotropin. Peningkatan kortisol ini akan merangsang produksi asam lambung dan dapat menghambat Prostaglandin E yang merupakan penghambat enzim adenil siklase pada sel parietal yang bersifat protektif terhadap mukosa lambung.19
Dengan demikian akan terjadi gangguan keseimbangan antara peningkatan asam lambung (faktor agresif) dengan penurunan prostaglandin (faktor defensif) sehingga menimbulkan keluhan sebagai sindroma dispepsia. Peninggian kortisol pada penderita dispepsia ini menurut Wehr (1982) didapatkan 9% pada depresi berat. Penelitian tersebut menyebutkan terdapat peningkatan nilai kortisol pada pasien yang mengalami gangguan psikosomatik seperti depresi.20
Keterbatasan Penelitian
Dalam penelitian ini, terdapat keterbatasan penelitian yaitu tidak memperhatikan jenis jenis antineoplastik, rute pemberian obat yang diberikan serta obat anti mual dan muntah pada pasien keganasan yang menjalani kemoterapi. Faktor jenis antineoplastik dengan tingkat emetogenik yang berbeda-beda serta obat antimual dan muntah dapat mempengaruhi derajat sindrom dispepsia yang dialami pasien dan tentu saja juga dapat mempengaruhi derajat depresi pasien.
KESIMPULAN
Dari penelitian ini didapatkan kesimpulan bahwa derajat depresi yang banyak dialami pasien keganasan yang menjalani kemoterapi adalah depresi minimal diikuti depresi ringan dan depresi sedang, sedangkan untuk derajat dispepsia yang banyak dialami pasien keganasan yang menjalani kemoterapi adalah dispepsia ringan diikuti dispepsia sedang lalu dispepsia berat. Ada hubungan yang cukup bermakna
http://jurnal.fk.unand.ac.id 140
Jurnal Kesehatan Andalas. 2013; 2(3)
secara statistik dan searah antara depresi dan sindrom dispepsia pada pasien keganasan yang menjalani kemoterapi.
DAFTAR PUSTAKA
1. World Health Organization. World Health Report 2001. Mental health: new understanding, new hope. Geneva: WHO; 2009.
2. Polikandrioti M, Evaggelou E, Zerva S, Zerdila M, Koukoularis D, Kyritsi E. Evaluation of depression in patients undergoing chemotherapy. Health Science Journal. 2008; 2(2): 162-72.
3. Schwartz S, Zahasky K. Psychological aspect of chemotherapy. CME Journal of Gynecologic Oncology. 2008; 13: 7-20.
4. Mudjadid E. Permasalahan Gangguan psikomatik dalam ruang lingkup penyakit dalam. Simposium Gangguan Psikomatik di Bidang Penyakit Dalam. Medan: Juni 2001; 1–8.
5. Perwitasari DA. Pengukuran kualitas hidup pasien kanker sebelum dan sesudah kemoterapi dengan EORTC QLQ-C30 di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Majalah Farmasi Indonesia. 2009; 20(2).
6. Carroll JK, Colmar D, Moseley F, Morrow GR, Mustian KM, Pierre PJ, Williams GC. Oncologist: Integrative nonpharmacologic behavioral interventions for the management of cancer-related fatigue. 2007.
7. Bassam ARH, Zuraidah BMY. Negative impact of chemotherapy on breast cancer patients QOL – utility of antiemetic treatment guidelines and the role of race. Asian Pacific Journal of Cancer Prevention. 2010; 11:1523-27.
8. Miovic M, Block S. Psychiatric disorders in advanced cancer. Cancer. 2007. October 15; 110(8).
9. Llyod GG. Depression and gastrointestinal and liver disorders in depression and physical illness. Vol-6. England: John Wiley & Sons; 293 – 302.
10. Candra B. Metodologi penelitian kesehatan. Jakarta: EGC; 2008.
11. Gendelman N, Snel-Bergeon J, McFann K, Kinney G, Wadwa P, Bishop F, Rewers M, Maahs D. Prevalence and correlates of depression in individuals with and without type 1 diabetes. Diabetes Care. 2009; 32(4).
12. Murni AW. Hubungan depresi dengan infeksi helicobacter pylori serta perbedaan gambaran histopatologi mukosa lambung pada penderita dispepsia dungsional (tesis). Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2010.
13. Sarwono J. Panduan cepat dan mudah SPSS 14. Penerbit Andi; 2006.
14. Tarigan CJ. Perbedaan depresi pada pasien dispepsia fungsional dan dispesia organik. Bagian Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 2003.
15. Kusuma NHS, Arinton IG, Paramita H. Korelasi skor dispepsia dan skor kecemasan pada pasien dispepsia rawat jalan klinik Penyakit Dalam di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto. Mandala of Health. 2011; 5(3).
16. Henningsen P, Zimmermann T, Sattel H. Medically unexplained physical symptoms, anxiety, and depression. A meta-analytic review. Psycosom Med. 2003; 65: 528-33.
17. Murni AW. Plasma cortisol levels in dyspepsia with psychosomatic patients. Sub Divisi Bagian Psikosomatis Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Andalas. Padang. 2011.
18. Zubir N. Diagnosis dan penatalaksanaan dispepsia fungsional. Dalam: Manaf A, Elfizon A, Fauzar, editor (penyunting): Naskah lengkap PIB IPD III. Padang: Bag. Penyakit Dalam FKUA; 2002. hlm. 115-22.
19. Levenstein S. A very model of a modern etiology: A biopsychosocial view of peptic ulcer. Psychosomatic Medicine. 2000; (62): 176 – 83.
20. Daldiyono H. Tukak stress pada penderita strok, aspek patofisiologi (disertasi). Jakarta: FKUI; 1995..
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar